REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Mantan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani telah bersumpah untuk kembali ke negaranya untuk "melanjutkan perjuangannya demi hak-hak dan nilai-nilai rakyat."
Dalam pernyataan perdananya di Uni Emirat Arab (UEA), Ghani memberikan dukungan untuk pembicaraan yang sedang berlangsung oleh mantan Presiden Hamid Karzai dan tokoh perunding perdamaian Abdullah Abdullah dengan Taliban. Pada Ahad (15/8), Ghani meninggalkan negara itu ketika Taliban menguasai ibu kota Kabul setelah pasukan Pemerintah Afghanistan menyerah.
“Saya bangga dengan pasukan keamanan kami, mereka belum dikalahkan, kami dikalahkan di front politik. Itu adalah kegagalan pemerintah, kepemimpinan Taliban dan masyarakat internasional. Itu adalah kegagalan proses perdamaian," ujar dia.
"Saya ingin mentransfer kekuasaan ke Taliban secara damai. Tapi saya diusir dari Afghanistan di luar keinginan saya,” kata dia.
“Saya diberitahu, Taliban memasuki Kabul. Ada kesepakatan bahwa Taliban tidak akan memasuki Kabul. Tapi mereka melakukannya. Saya tidak ingin digantung sebagai presiden, saya adalah kehormatan Afghanistan. Saya tidak takut mati,” kata Ghani.
Dia mengatakan dirinya tidak berniat untuk melarikan diri dari negaranya atau hidup di pengasingan. Ghani mengungkapkan bahwa dia meninggalkan negara itu untuk menghindari pertumpahan darah di Kabul di tengah kemajuan Taliban.
"Saya sedang berkonsultasi untuk kepulangan saya ke Afghanistan sehingga saya dapat melanjutkan upaya untuk keadilan, nilai-nilai Islam dan nasional yang sejati," tambah dia.
Ghani juga menangkis tuduhan melarikan diri dengan membawa banyak uang tunai dan dia mengatakan itu adalah upaya "pembunuhan karakter".
“Anda dapat memverifikasi ini dengan Bea Cukai UEA. Saya tidak punya waktu untuk mengganti sepatu saya. Keamanan saya meminta saya untuk pergi karena ada ancaman bagi saya sebagai kepala negara,” tukas Ghani.