Kamis 19 Aug 2021 18:37 WIB

Revisi Permen ESDM Soal PLTS Atap Jangan Bebani APBN dan PLN

Jika selisih harga listrik PLTS Atap dibayar oleh APBN itu akan membebani.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3/2021). ilustrasi
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3/2021). ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah perlu mencari jalan tengah untuk  alternatif dari rencana revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 49 Tahun 2018 tentang  Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh konsumen PLN agar APBN dan PLN tidak terbebani.

Mukhtasor, mantan Anggota Dewan Energi Nasional menilai dengan adanya revisi Permen yang baru tersebut berpotensi merugikan PLN. Porsi rasio ekspor impor 65 persen menjadi 100 persen kata Mukhtasor malah juga akan berpotensi membebani APBN.

“Kalau di jaringan PLN harus bayar. Padahal salah satu misi BUMN itu untuk keuntungan. Kalau yang diuntungkan sebagian, maka tidak akan berlangsung lama,” kata Mukhtasor dalam sebuah diskusi, Kamis (19/8).

Menurut Mukhtasor, jika selisih harga listrik PLTS Atap dibayar oleh APBN itu akan membebani. Kalau asumsinya negara mampu, APBN harus dialokasikan untuk investasi EBT. “Khusus PLTS Atap saya sampaikan ke Presiden ada jalan tengah bagi semua pemangku kepentingan dan menjadi model gotong royong sebagai bangsa,” ujarnya.

Sunarsip, Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence, mengatakan kondisi pasokan listrik di Jawa dan Bali sebenarnya over capacity. Kalau muncul istilah gagasan baru dengan mengembangkan EBT, apalagi PLTS Atap,  harus diperhitungkan kondisi kelebihan pasokan yang terjadi saat ini.

“Jangan sampai  pengembangan massif PLTS A malah membebani PLN dan keuangan negara. Yang menjadi catatan bahwa sebenarnya target rencana induk energi disusun dengan asumsi yang optimistis, padahal realisasinya kita tidak pernah mengalami pertumbuhan ekonomi sampai 7 persen,” ungkap dia.

Chrisnawan Aditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, mengatakan prinsip yang dipegang pemerintah sebagai regulator harus imbang. Bahwa regulasi itu tidak bisa memuaskan semua pihak, ketika timbangan lebih berat ke utility, akan ada reaksi dari pihak lain.

Dia juga menyanggah bahwa revisi permen PLTS Atap bahwa harga ekspor-impor listrik akan naik dari 65 persen ke 100 persen. “PLTS Atap tidak untuk diperjualbelikan, yang kita tingkatkan adalah nilai ekspornya,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement