Jumat 20 Aug 2021 17:22 WIB

Jual Beli Air Susu Ibu Menurut Pandangan Ulama  

Ulama berbeda pendapat soal hukum jual beli air susu ibu

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Ulama berbeda pendapat soal hukum jual beli air susu ibu, Ilustrasi ibu menyusui
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Ulama berbeda pendapat soal hukum jual beli air susu ibu, Ilustrasi ibu menyusui

REPUBLIKA.CO.ID, – Air susu ibu (ASI) adalah bagian yang mengalir dari anggota tubuh manusia, dan tidak diragukan lagi hal itu merupakan karunia Allah SWT yang sangat bermanfaat bagi bayi. Karena pentingnya ASI bagi pertumbuhan bayi, lantas bagaimana hukum jual beli ASI?

Prof Huzaemah Tahido Yanggo dalam buku Problematika Fikih Kontemporer menjelaskan, jual beli ASI manusia di dalam fikih Islam merupakan cabang hukum yang para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Setidaknya terdapat dua pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini.

Baca Juga

Pertama, kalangan ulama yang tidak memperbolehkannya. Ini merupakan pendapat ulama Mazhab Hanafi kecuali Abu Yusuf, salah satu pendapat yang lemah pada Mazhab Syafii dan merupakan pendapat sebagian ulama Mazhab Habali.

Kedua, pendapat yang mengatakaan dibolehkan jual beli ASI yang merupakan pendapat Abu Yusuf (pada susu seorang budak), Madzhab Maliki, Syafii, Khiraqi dari Mazhab Hanbali, Ibnu Hamid dikuatkan juga oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu Hazm.

Menurut Ibnu Rusyd, sebagaimana dikutip Prof Huzaemah, sebab timbulnya perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah pada boleh tidaknya menjual ASI manusia yang telah diperah. 

Karena proses pengambilan ASI tersebut melalui perahan. Imam Malik dan Imam Syafii membolehkannya, sedangkan Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya.

Alasan mereka yang membolehkannya adalah karena ASI itu halal untuk diminum, maka diperbolehkan menjualnya sebagaimana susu sapi dan sejenisnya. 

Sedangkan Imam Abu Hanifah memandang bahwa hukum asal dari ASI itu sendiri adalah haram karena dia disamakan seperti daging manusia. Karena daging manusia tidak boleh memakannya, maka tidak diperbolehkan juga untuk menjualnya. Sedangkan ASI itu dihalalkan bagi bayi karena darurat baginya.

Pembolehan penjualan ASI itu dapat menimbulkan rusaknya pernikahan yang disebabkan kawinnya orang sesusuan dan hal tersebut tidak dapat diketahui jika antara lelaki dan perempuan meminum ASI yang dijual bank ASI tersebut. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa menjual ASI tersebut dapat membawa manfaat bagi manusia, yaitu tercukupinya gizi bagi bayi karena kita melihat bahwa banyak bayi yang tidak memperoleh ASI yang cukup. 

Namun demikian pendapat ini ditolak karena kemudharatan yang ditimbulkan lebih besar dari manfaatnya, yakni terjadinya percampuran nasab.

Padahal Islam menganjurkan kepada manusia untuk selalu menjaga nasabnya. Hal ini sebagaimana dalam kaidah fikih disebutkan,  دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ “Dar’ul mafasid awlaa min jalbil-mashalih.” 

Yang artinya, “Menolak kemudharatan lebih utama dari pada menarik kemaslahatan,”. Dan dalam kaidah fikih lain disebutkan, الضرر لا يزال بالضرر “Ad-dhararu laa yuzalu bi ad-dharari.”  Yang artinya, “Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudhratan lain.” 

Hal ini jelas karena hanya akan menambah masalah. Ketiadaan ASI bagi seorang bayi adalah suatu kemudharatan, maka memberi bayi dengan ASI yang dijual di bank ASI adalah kemudharatan pula. Namun demikian, sebagian ulama kontemporer membolehkan pendirian bank ASI seperti Syekh Yusuf Qaradhawi dengan tiga alasan.

Pertama, bahwa kata radha (menyusui) di dalam bahasa Arab bermakna putting payudara dan meminum ASI-nya. Oleh karena itu, meminum ASI bukan melalui isapan pada payudara tidak disebut sebagai menyusui, maka efek dari penyusuan model ini tidak membawa pengaruh apapun di dalam hukum nasab nantinya.

Kedua, yang menimbulkan adanya saudara sesusu adalah sifat keibuan. Yang ditegaskan Alquran itu tidak terbentuk semata-mata diambilkan air susunya, tetapi karena mengisap payudara dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncul lah persaudaraan sesusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain mengikutinya.

Ketiga, alasan yang dikemukakan beberapa mazhab. Di mana mereka memberi ketentuan lima kali penyusuan terhadap seseorang sehingga antara bayi dengan ibu susu memiliki ikatan yang diharamkan nikah. Mereka mengatakan bahwa jika si bayi menyusu kurang dari lima kali susuan, maka tidaklah membawa pengaruh di dalam hubungan kandungan darah.    

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement