REPUBLIKA.CO.ID, — Harakatu al-Muqawwamah al- Islamiyah atau Hamas kerap dituding dengan stigmastigma yang menyudutkan, seperti radikalis atau bahkan teroris.
Tiar Anwar Bachtiar dalam Hamas: Kenapa Dibenci Israel? (2008) menjelaskan, pihak Israel dan sekutu terdekatnya, Amerika Serikat (AS), mulai memasukkan Hamas dalam daftar hitam (blacklist).
Itu terjadi sejak organisasi bentukan Syekh Ahmad Yasin tersebut dengan terang-terangan menentang segala bentuk kekerasan yang dilakukan Zionis beserta dukungan yang diberikan para sekutu Israel.
Bachtiar mengutip pendapat seorang pengamat politik Arab, Huda Huseini, yang mengatakan, Hamas mulai melakukan aksi kekerasan, termasuk metode bom bunuh diri, sejak pembantaian oleh ekstremis Yahudi Baruch Goldstein di Hebron.
Pembunuhan besar-besaran itu menewaskan sekira 40 warga Palestina pada 1994. Maka, menurut Huda, Hamas secara ideologi pada dasarnya bukanlah sebuah organisasi radikal. Lingkungan politik keras yang diciptakan Israel memaksa Hamas untuk melakukan aksi kekerasan, demikian simpulannya.
Pemilihan umum Palestina pada 2006 pun membantah tuduhan Israel dan kawan-kawan terhadap Hamas. Bachtiar mengingatkan, Hamas bukanlah aktor baru di Palestina. Keberadaannya dapat dilacak sejak Ikhwanul Muslimin (IM) di Palestina pada 1930-an.
Menurut sejarawan tersebut, pilihan Ikhwanul Muslimin untuk menekuni dunia dakwah, sosial, pendidikan, dan budaya di negeri tersebut, khususnya wilayah Gaza, adalah tepat. Langkah ini berbeda daripada gerakan-gerakan lain yang lebih berkonsentrasi pada ranah politik hingga membuat mereka cenderung jauh dari rakyat.
Kedekatan Ikhwanul Muslimin Palestina pada rakyat melalui beragam programnya membuat simpati publik kian besar. Terbukti, dalam Pemilu 2006 Hamas yang akar kesejarahannya adalah Ikhwanul Muslimin Palestina mendulang suara mayoritas rakyat Palestina. Hal ini tidak akan terjadi pada gerakan radikal, semisal Jihad Islam yang hanya didukung sedikit massa.
Kalau toh tuduhan radikalisme tetap ingin dialamatkan, kesannya hanya diisolasi pada sayap militernya, yakni Batalion Izzuddin Al Qassam. Di luar itu dan sebagian besarnya, Hamas adalah gerakan sosial-kemasyarakatan yang justru jauh dari kekerasan dan kesan radikal.
Memasuki era 2010-an, Hamas cenderung berfokus pula pada penyatuan dalam negeri. Upaya-upaya rekonsiliasi dengan Fatah berkali-kali terjadi. Misalnya, pada 9 November 2010 ketika utusan kedua belah pihak bertemu di Damaskus, Suriah. Perundingan tersebut bertujuan mempersempit perbedaan antara keduanya. Apalagi, pada faktanya kendali atas Palestina terbagi dua.
Jalur Gaza dikuasai Hamas, sedangkan Tepi Barat oleh Fatah. Pada Oktober 2017, tonggak bersejarah terjadi. Setelah lebih dari satu dekade bertikai, faksi Hamas dan Fatah akhirnya mencapai kesepakatan dalam sebuah rekonsiliasi di Kairo, Mesir. Pemerintahan bersama yang akan mengawasi seluruh Jalur Gaza dan Tepi Barat ditargetkan selesai pada akhir tahun tersebut.
Ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyebut Yerusalem sebagai ibu kota Israel, kedua faksi tersebut pun satu suara. Mereka menolak keras klaim menyesatkan Trump itu.
Lebih lanjut, baik Hamas maupun Fatah tidak akan menerima Amerika Serikat sebagai mediator tunggal untuk negosiasi dengan Israel. Memang, saat ini kedua faksi masih tampak merenggang. Yang pasti, kemerdekaan Palestina membutuhkan persatuan, bukan justru memelihara perpecahan di dalamnya.