REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Akademisi Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang, mengingatkan, penundaan pemilu 2024 ke 2027 dapat menimbulkan risiko politik dan ketidakpastian hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
"Wacana penundaan ini, menurut saya lebih bersifat politis ketimbang kesehatan, karena Covid-19 tidak harus dilihat sebagai hambatan, namun mesti dimaknai sebagai tantangan bagi jalan demokrasi di negeri ini," kata Atang di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (23/8).
Wacana pemilu serentak 2024 ditunda ke tahun 2027, mempertimbangkan pandemi Covid-19 yang belum berakhir. Hal itu telah menjadi diskursus publik, belakangan ini.
Menurut Atang, jika wacana itu benar adanya dan menjadi desain pemerintah maka dapat dipastikan akan muncul problem ikutan. Dia menyebut, masalah penundaan pemilu menandakan adanya inkonsistensi pemerintah terkait Covid-19.
Pasalnya, ketika pilkada serentak 2020 tetap dilaksanakan di tengah pandemi, banyak pihak menyarankan agar pilkada ditunda. Namun, pemerintah tetap pada pendirian untuk melaksanakan pilkada dengan penerapan protokol kesehatan secara ketat.
Oleh karena itu, menurut Atang, jika pemilu serentak 2024 ditunda karena alasan pandemi maka hal itu tidak dapat diterima secara nalar. Alasan lainnya, kata dia, muncul karena pilkada serentak terlalu mepet dengan pemilu.
Menurut Atang, ada problem di kelembagaan negara, yakni posisi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota akan mengalami kekosongan. Masa pengabdian mereka akan berakhir pada 2024. Sehingga fungsi politik selama tiga tahun tidak berjalan.
Belum lagi, problem ketatanegaraan soal berakhirnya masa jabatan presiden pada 2024, apakah perlu diangkat pejabat presiden untuk menjalankan tugas negara. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, kata dia pula, wacana penundaan pilpres menimbulkan risiko politik dan ketidakpastian hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
"Covid-19 tidak harus dilihat sebagai hambatan, namun mesti dimaknai sebagai tantangan bagi jalan demokrasi di negeri ini. Demokrasi tidak harus berhenti karena adanya Covid-19," kata Atang.