Senin 23 Aug 2021 16:31 WIB

Ketika Penderitaan Juliari Jadi Faktor Peringan Vonisnya

Juliari dinyatakan terbukti terima suap pengadaan bansos Covid senilai Rp 32 miliar.

Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara berjalan usai menjalani sidang pembacaan putusan yang digelar secara virtual  di gedung ACLC KPK, Jakarta, Senin (23/8). Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara serta denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi pada pengadaan bantuan sosial penanganan pandemi COVID-19. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara berjalan usai menjalani sidang pembacaan putusan yang digelar secara virtual di gedung ACLC KPK, Jakarta, Senin (23/8). Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara serta denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi pada pengadaan bantuan sosial penanganan pandemi COVID-19. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Rizkyan Adiyudha, Antara

Majelis Hakim Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menilai mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara sudah cukup menderita akibat dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Penderitaan Juliari menjadi pertimbangan bagi hakim menjatuhkan keringanan vonis.

Baca Juga

“Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” kata Ketua Majelis Hakim, M Damis, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/8).

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai, penderitaan Juliari tidak tepat bila dijadikan faktor peringan hukumannya. "Menurut saya ini bukan keadaan yang meringankan. Keadaan yang meringankan itu adalah berasal dari internal terdakwa sendiri yang maupun kondisi yang memaksa yang bersangkutan melakukan tindakannya. Itu biasanya kondisi yang meringankan seperti itu," ujar Zaenur kepada Republika, Senin (23/8).

"Misalnya keadaan meringankan terdakwa merupakan tulang punggung keluarga. Kalau terdakwa dijatuhi hukuman tinggi akan mengakibatkan kewajiban mengurus keluarga terhambat. Sedangkan dicaci maki, dicerca masyarakat bukan keadaan meringankan," sambungnya.

Menurt Zaenur, cacian publik ke Juliari merupakan konsekuensi dari perbuatan yang dianggap sangat jahat oleh masyarakat. Korupsi yang dilakukan politikus PDIP itu adalah korupsi bansos pandemi Covid-19 dan dilakukan saat kasus virus corona bahkan masih jauh dari berakhir.

"Jadi saya tidak setuju bila dihina masyarakat sebagai hal yang meringankan. Yang lebih cocok kalau misal terdakwa tulang punggung, atau berkelakuan baik selama persidngan. Itu saya masih setuju," terang Zaenur.

Hal senada diungkapkan mantan Komisioner KPK, Saut Situmorang. Menurut Saut, bila tak ingin dicaci maki, maka janganlah berbuat korupsi.

"Kalau soal caci maki itu dinamika aksi reaksi, siapa suruh korupsi. Jangankan tersangka koruptor, yang menangkapi koruptor saja dicaci maki dibilang Taliban lah dan lain-lain," kata Saut kepada Republika, Senin (23/8).

Jika cacian dan makian masyarakat terhadap Juliari dijadikan alasan meringankan hakim, lanjut Saut, maka negeri ini semakin lucu. Menurut Saut, status Juliari sebagai menteri dan melakukan korupsi dana bansos harusnya jadi alasan untuk memperberat hukuman Juliari.

"Jadi kalau itu jadi alasan yang meringankan maka negeri ini semakin lucu, sebab seorang menteri korupsi itu justru harus jadi pemberatan, di tengah pendemi dan yang disikat itu namanya jelas-jelas dana Bansos Bencana Covid-19," kata Saut.

Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Tak hanya pidana badan, Juliari juga dijatuhi hukuman berupa uang pengganti sejumlah Rp 14,59 miliar. Apabila Juliari tidak membayar uang pengganti dalam kurun satu bulan setelah putusan pengadilan, maka harta bendanya akan disita dan bila tidak mencukupi, Juliari akan diganjar pidana badan selama dua tahun.

Dalam putusan Hakim juga memberikan hukuman berupa pencabutan hak politik selama empat tahun, setelah Juliari selesai menjalani pidana pokok. Juliari dinyatakan terbukti menerima Rp 32,48 miliar dalam kasus suap pengadaan bantuan sosial Covid-19.

Uang suap itu diterima dari sejumlah pihak. Sebanyak Rp 1,28 miliar diterima dari Harry van Sidabukke, Rp 1,95 miliar dari Ardian Iskandar M, dan Rp 29,25 miliar dari beberapa vendor bansos Covid-19 lainnya.

Dalam menjatuhkan vonis terhadap Juliari hakim mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan. Untuk hal memberatkan, perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak ksatria.

"Ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya," kata Hakim.

Selain itu, perbuatan terdakwa dilakukan dalam keadaan darurat bencana non-alam yaitu wabah Covid-19. Tindak pidana korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat juga menunjukkan grafik peningkatan baik kuantitas maupun kualitasnya.

Sementara hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dijatuhi pidana. Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement