REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, vonis 12 tahun sks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, sangatlah rendah. Menurut Fickar, korupsi yang dilakukan Juliari telah memenuhi syarat hukuman seumur hidup.
"Tidak ada alasan yang meringankan sedikitpun. Karena terdakwa adalah penguasa yang seharusnya melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah, tapi justru mengkhianatinya dengan mengorupsi uang yang seharusnya untuk kepentingan rakyat," kata Fickar kepada Republika, Senin (23/8).
"Perbuatannya ironis, tega dan kejam, sehingga hukunannya seharusnya maksimal seumur hidup," tambah Fickar.
Dikatakan Fickar, tindak pidana korupsi Juliari yang dilakukan saat negara dalam keadaan bencana yakni pandemi Covid-19 sudah memenuhi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
"Korupsi yang dilakukan (Juliari) telah memenuhi unsur "dilakukan dalam keadaan tertentu" dalam hal ini adalah negara dalam keadaan bencana nasional pandemi, artinya korupsi dilakukan sementara rakyat Indonesia sedang membutuhkan biaya yang besar menghadapi pandemi," tutur Fickar.
Seharusnya, kata dia, hakim juga mempertimbangkan keadaan dan situasi ini. Sehingga, hukuman maksimal seumur hidup bisa dan beralasan untuk dijatuhkan. Demikian juga dendanya seharusnya juga maksimal.
Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Tak hanya pidana badan, Juliari juga dijatuhi hukuman berupa uang pengganti sejumlah Rp 14,59 miliar.
Apabila Juliari tidak membayar uang pengganti dalam kurun satu bulan setelah putusan pengadilan, maka harta bendanya akan disita dan bila tidak mencukupi, Juliari akan diganjar pidana badan selama dua tahun.
Dalam putusan, Hakim juga memberikan hukuman berupa pencabutan hak politik selama empat tahun, setelah Juliari selesai menjalani pidana pokok. Juliari dinyatakan terbukti menerima Rp 32,48 miliar dalam kasus suap pengadaan bantuan sosial Covid-19.
Uang suap itu diterima dari sejumlah pihak. Sebanyak Rp 1,28 miliar diterima dari Harry van Sidabukke, Rp1,95 miliar dari Ardian Iskandar M, dan Rp29,25 miliar dari beberapa vendor bansos Covid-19 lainnya.
Dalam menjatuhkan vonis terhadap Juliari, hakim mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan. Untuk hal memberatkan, perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak kesatria.
"Ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya," kata Ketua Majelis Hakim M Damis.
Selain itu , perbuatan terdakwa dilakukan dalam keadaan darurat bencana nonalam yaitu wabah covid-19. Tindak pidana korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat juga menunjukkan grafik peningkatan baik kuantitas maupun kualitasnya.
Sementara hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dijatuhi pidana. Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat.
"Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," kata Hakim.
Selama persidangan kurang lebih 4 bulan terdakwa juga hadir dengan tertib, tidak pernah bertingkah dengan macam-macam alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar. Padahal, selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, terdakwa juga harus hadir sebagai saksi dalam perkara Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso.
Atas perbuatannya, Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.