Selasa 24 Aug 2021 12:41 WIB

Perkaya Ruang Publik dengan Penolakan Amendemen UUD 1945

Peran parpol sangat dibutuhkan untuk komitmen tidak mengubah UUD 1945.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo
Foto: MPR
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, mengajak masyarakat untuk memperkaya ruang publik dengan penolakan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dia berharap, langkah itu menjadi harapan publik agar wacana itu dapat digagalkan.

Berdasarkan Tata cara perubahan UUD dalam pasal 37 UUD, agar amendemen bisa digagalkan setidaknya harus disuarakan setengah dari jumlah anggota DPR dan seluruh anggota DPD. Sayangnya, tak ada mekanisme resmi dimana masyarakat bisa menggalkan amendemen.

"Sehingga, peran parpol sangat dibutuhkan untuk komitmen tidak mengubah UUD 1945. Selain itu, ada peran DPD juga untuk menolak adanya perubahan terhadap UUD 1945," kata Ihsan kepada Republika, Selasa (24/8).

Walau demikian, Ihsan menilai, partisipasi masyarakat tetap penting untuk menyuarakan penolakan terhadap perubahan UUD 1945. Dia optimis, akan hal itu meskipun pihak otoritas kerap melupakan suara publik dalam pengambilan kebijakannya. "Kami merasa, suara masyarakat masih sangat dapat didengar oleh MPR," ujar Ihsan.

Ihsan mencontohkan, masyarakat bisa berpartisipasi dalam menunda perubahan UUD 1945 dengan menyuarakan di ruang-ruang publik ataupun ruang-ruang yang konstitusional. Bentuknya bisa berupa menyatakan pendapat, audiensi dengan pimpinan parpol, pimpinan DPR atau DPD. 

"Organisasi-organisasi masyarakat yang punya rekam jejak mengawal proses reformasi juga bisa ikut menyuarakan kepada MPR untuk tidak mengubah UUD 1945 di tengah situasi saat ini," ucap Ihsan.

Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan, proses amendemen UUD 1945 masih sangat panjang. Karena itu, pihak yang keberatan tidak perlu emosional dengan proses ini.

Saat ini, Badan Pengkajian MPR disebutnya sedang menyelesaikan kajian terhadap Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Ia berharap hasil kajian yang dilakukan Badan Pengkajian MPR terkait PPHN bisa selesai awal 2022.

"Perjalanan masih panjang. Jadi, tidak usah marah-marah apalagi sampai kebakaran jenggot. Karena MPR saat ini hanya melaksanakan tugas konstitusional yang menjadi rekomendasi MPR periode sebelumnya," ujar Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/8). 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement