Selasa 24 Aug 2021 19:11 WIB

Respon Komisi Yudisial Terkait Pertimbangan Vonis Juliari

KY baru bergerak jika ditemukan adanya dugaan pelanggaran dalam putusan tersebut.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Gedung Komisi Yudisial
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Gedung Komisi Yudisial

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Yudisial (KY) menyatakan akan bergerak apabila ditemukannya dugaan pelanggaran dalam putusan perkara mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Diketahui, dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menilai Juliari sudah cukup menderita akibat dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Penderitaan Juliari menjadi pertimbangan bagi hakim menjatuhkan keringanan vonis.

"KY tidak dalam kapasitas untuk memberi komentar atas substansi putusan. KY dapat bergerak apabila terdapat dugaan pelanggaran perilaku dari hakim, " kata Juru Bicara KY, Miko Ginting Susanto kepada Republika.co.id, Selasa (24/8).

Baca Juga

Diketahui, dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai Juliari sudah cukup menderita akibat dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Penderitaan Juliari menjadi pertimbangan bagi hakim menjatuhkan keringanan vonis.

Namun, lanjut Miko, di sisi lain, persoalan ini juga menyangkut permasalahan regulasi. Dari sisi ketentuan hukum normatif, Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP memang mensyaratkan suatu putusan wajib dilengkapi keadaan yang memberatkan dan meringankan dari terdakwa.

"Apabila hal ini tidak dicantumkan, maka mengakibatkan suatu putusan batal demi hukum, " ujar Miko.

Miko menjelaskan, hingga kini tidak ada ketentuan yang cukup jelas mengenai apa yang dimaksud serta batasan dari keadaan yang meringankan dan memberatkan ini. Termasuk, apakah keadaan yang memberatkan atau meringankan itu berdampak pada berat ringannya penjatuhan pidana atau tidak.

"Misalnya, dalam perkara ini, putusan hakim lebih dari tuntutan jaksa, tetapi tetap mencantumkan keadaan yang meringankan dari terdakwa karena hal ini merupakan ketentuan UU, " jelasnya.

"Sehingga ada juga sisi problem regulasi (utamanya KUHAP) yang tidak memadai dalam memberikan pengaturan terkait dengan hal ini," ujarnya menambahkan.

Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Tak hanya pidana badan, Juliari juga dijatuhi hukuman berupa uang pengganti sejumlah Rp 14,59 miliar. Apabila Juliari tidak membayar uang pengganti dalam kurun satu bulan setelah putusan pengadilan, maka harta bendanya akan disita dan bila tidak mencukupi, Juliari akan diganjar pidana badan selama dua tahun.

Dalam putusan Hakim juga memberikan hukuman berupa pencabutan hak politik selama empat tahun, setelah Juliari selesai menjalani pidana pokok. Juliari dinyatakan terbukti menerima Rp 32,48 miliar dalam kasus suap pengadaan bantuan sosial Covid-19.

Uang suap itu diterima dari sejumlah pihak. Sebanyak Rp 1,28 miliar diterima dari Harry van Sidabukke, Rp 1,95 miliar dari Ardian Iskandar M, dan Rp 29,25 miliar dari beberapa vendor bansos Covid-19 lainnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement