REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Saat Amerika Serikat (AS) menginvasi Afghanistan 2001 lalu, perekonomian global sangat berbeda dari sekarang. Saat itu, Tesla Inc belum didirikan, iPhone belum diciptakan dan teknologi kecerdasan artifisial hanya ada dalam film.
Kini tiga terobosan perekonomian modern tersebut hanya dapat ditopang oleh cip teknologi tinggi dan baterai kapasitas besar yang diproduksi dengan berbagai mineral, termasuk yang langka. Cadangan mineral Afghanistan diperkirakan senilai 1 triliun dolar AS atau lebih. Kabarnya negara itu memiliki cadangan lithium terbesar di dunia.
Namun, tidak ada yang mampu mengambilnya dari tanah karena negara itu berperang selama empat dekade terakhir. Pertama dengan Uni Soviet, lalu perang antarsuku dan dengan AS. Tidak ada tanda-tanda akan ada perubahan signifikan di Afghanistan.
Pada Selasa (25/8), Aljazirah melaporkan Taliban yang merebut kekuasaan menunjukkan ingin menerapkan kembali hukum teokrasi yang ketat dan kaku. Mereka hendak mengekang hak-hak perempuan dan kebebasan dasar dibandingkan membawa Afghanistan ke masa depan yang lebih makmur.
Namun, juga ada pandangan positif, China menekan Taliban untuk membentuk pemerintahan yang 'inklusif' dengan panglima perang kelompok-kelompok etnik, mengizinkan hak-hak asasi paling dasar untuk perempuan dan minoritas dan memerangi elemen-elemen teroris yang ingin menyerang AS, China, India, atau negara lain.
"Dengan mundurnya AS, Beijing dapat menawarkan apa yang paling dibutuhkan Kabul, investasi ekonomi dan dukungan politik imparsial," kata kolonel senior Angkatan Bersenjata China dari tahun 2003 sampai 2020, Zhou Bo dalam opininya di New York Times.
"Pada gilirannya Afghanistan memiliki apa yang diinginkan China; peluang pembangunan infrastruktur dan industri, di wilayah yang dapat dibilang kemampuan China tak tertandingi dan akses pada cadangan mineral yang belum tersentuh senilai 1 triliun dolar AS," tambahnya.