Rabu 25 Aug 2021 11:53 WIB

Taliban Ingin Berhubungan Baik dengan China

Bagi China, Afghanistan memiliki nilai strategis dan ekonomis.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Taliban melobi China.
Foto: AP/Reuters/berbagai sumber
Taliban melobi China.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Taliban yang kini berkuasa di Afghanistan dinilai ingin memiliki hubungan internasional yang baik terutama dengan China. Pejabat dan media yang dikelola pemerintah China mengungkapkan hubungan baik antara Beijing dan Taliban.

Pada Rabu (25/8), Aljazirah melaporkan media pro-Partai Komunis China, Global Times menulis investasi China tampaknya akan 'diterima dengan terbuka' di Afghanistan. Laporan lain menyebutkan Amerika Serikat tidak memiliki posisi untuk ikut campur dalam kerja sama antara China dan Afghanistan termasuk pada mineral langka.

Baca Juga

"Beberapa orang menekankan ketidak percayaannya pada Taliban Afghanistan, kami ingin mengatakan tidak ada yang tak dapat berubah selamanya, kami harus melihat masa lalu dan masa sekarang, kami harus mendengar kata-kata dan melihat perbuatan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying pekan lalu.

Bagi China, Afghanistan memiliki nilai strategis dan ekonomis. Pemimpin-pemimpin di Beijing berulang kali meminta Taliban mencegah serangan teroris yang direncanakan terhadap China dan menekankan hubungan ekonomi sebagai kunci memastikan stabilitas.

Mereka juga melihat peluang untuk berinvestasi di sektor mineral Afghanistan. China dapat memindahkan mineral Afghanistan dengan infrastruktur yang mereka danai termasuk proyek senilai 60 miliar dolar AS di Pakistan.

Baca juga : Infografis: Taliban Ungguli Pasukan Keamanan Afghanistan

Pada 2010 lalu, pemerintah AS memperkirakan Afghanistan memiliki cadangan mineral yang belum tersentuh senilai 1 triliun dolar AS. Pemerintah Afghanistan mengatakan nilainya tidak kali lipat dari itu.

Cadangan itu antara lain lithium yang sangat banyak, mineral langka, dan mineral-mineral lain yang penting bagi industri modern menuju industri yang lebih ramah lingkungan. Tetapi infrastruktur dan keamanan yang buruk membuat upaya penambangan cadangan mineral tersebut terhambat.

Taliban merebut kekuasaan di saat tepat ketika bahan baku baterai sangat dibutuhkan. Produsen mencari tempat untuk berinvestasi guna mengamankan aliran pasokan lithium yang menurut perusahaan investasi Macquarie Group 'defisit abadi' atau selalu kekurangan.

AS, Jepang, dan Eropa hendak mencari alternatif untuk tidak terlalu bergantung pada China untuk pasokan mineral langka yang biasanya digunakan untuk magnet permanen. Walaupun langkah tersebut diperkirakan akan memakan waktu bertahun-tahun dan menghabiskan jutaan dolar AS anggaran pemerintah.

Salah satu masalahnya, kata mantan penasihat ekonomi Kementerian Keuangan Afghanistan Nematullah Bizhan, kemampuan Taliban membuat kebijakan sangat lemah.

Baca juga : Taliban Minta AS Berhenti Evakuasi Tenaga Terampil

"Di masa lalu mereka menunjukkan orang tak berkualifikasi untuk memegang jabatan kunci seperti menteri keuangan dan bank sentral, bila mereka melakukan hal yang sama, akan berdampak negatif pada perekonomian dan pertumbuhan Afghanistan," kata Bizhan yang kini mengajar kebijakan publik di Australian National University.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement