REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengatakan kebutuhan akan gas bagi pembangkit listrik akan terus meningkat kedepan, mengingat untuk mendongkrak bauran energi. Namun, untuk bisa menciptakan harga gas yang lebih kompetitif untuk pembangkit perlu ada kebijakan terintegrasi soal infrastruktur gas.
Executive Vice President Gas dan BBM PT PLN Daryanto Ariyadi menjelaskan struktur harga gas salah satunya adalah biaya infrastruktur. Bila ada kebijakan soal infrastruktur yang lebih terintegrasi maka ini bisa menekan harga gas.
“Perlu dukungan pemerintah dan badan usaha transportasi LNG untuk meningkatkan efisiensi biaya logistik. Jadi, PLN berharap pemerintah dapat membuat kebijakan terintegrasi terkait pemanfaatan infrastruktur gas yang tidak hanya fokus pada peruntukan kelistrikan, tapi juga mengakomodasi kebutuhan gas di luar kelistrikan," ujar Daryanto, Rabu (25/8).
Namun, disatu sisi menurut SKK Migas laju pertumbuhan permintaan gas di domestik tidak sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi. Sekretaris SKK Migas Taslim Z Yunus menjelaskan daya serap gas domestik hanya 1 persen per tahun. Ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4-5 persen per tahun.
Ia menjelaskan supply dan demand masih lebih besar supply. “Sebetulnya, kita masih kompetitif, jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga lain, kecuali Singapura yang memang harga gasnya sangat tinggi,” ungkap Taslim.
Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis Subholding Upstream Pertamina John H Simamora juga menjelaskan sebenarnya untuk jaminan pasokan gas Indonesia sangat melimpah. Hanya saja, untuk bisa mengoptimalkan pemanfaatannya maka perlu ada kerja sama semua pihak.
Menurut dia, banyak potensi gas yang dimiliki Pertamina di berbagai wilayah, terutama di wilayah Indonesia Timur, tetapi belum bisa dimonetisasi karena belum tersedia infrastruktur. “Gas memang sudah saatnya. Tetapi harus nyata dan jelas. Kita sudah banyak bicara soal ini, tetapi faktanya, tidak banyak berubah,” jelas John.
Menurut dia, banyak potensi gas yang dimiliki Pertamina di berbagai wilayah, terutama di wilayah Indonesia Timur, tetapi belum bisa dimonetisasi karena belum tersedia infrastruktur. “Gas memang sudah saatnya. Tetapi harus nyata dan jelas. Kita sudah banyak bicara soal ini, tetapi faktanya, tidak banyak berubah,” jelas John.