REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) melanjutkan penyidikan kasus dugaan korupsi di Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo). Pada Rabu (25/8), penyidikan yang dilakukan tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), memeriksa tiga mantan petinggi di perusahaan perikanan milik pemerintah tersebut.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer Simanjuntak, menyampaikan, tiga nama yang diperiksa tersebut, yakni FM, DH, dan AG. Mengacu daftar layar monitor pemeriksaan di gedung Pidana Khusus (Pidsus) Kejakgung, FM mengacu pada nama Farida Mokodompit, yang diperiksa sebagai direktur utama (Dirut) Perum Perindo 2019-2020.
Sedangkan DH, adalah Dicki Hertanto, yang diperiksa terkait perannya sebagai staf utama bidang enterprise resources planning, dan digitalisasi Perum Perindo. Adapun AG, adalah Arief Goentoro, yang diperiksa terkait perannya selaku direktur keuangan Perum Perindo 2018-2019, dan pernah menjabat sebagai direktur operasional Perum Perindo 2019-2020.
"FM, DH, dan AG, diperiksa terkait dengan pengelolaan keuangan pada Perum Perindo)," ujar Ebenezer, dalam siaran pers resmi, Rabu (25/8).
Penyidikan dugaan korupsi di Perum Perindo ini, kasus baru yang saat ini ditangani Jampidsus Kejakgung. Pemeriksaan saksi-saksi, sudah mulai dilakukan sejak Senin (23/8). Belum ada penjelasan pasti kronologis lengkap duduk perkara kasus ini.
Namun, Direktur Penyidikan di Jampidsus, Supardi mengatakan, kasus dugaan korupsi di Perum Perindo terkait dengan permasalahan pengelolaan keuangan yang berujung angka minus dalam pembiyaan. "Kerugian negaranya, belum dapat saya pastikan angka pastinya. Tetapi kira-kira itu ratusan miliar,” kata Supardi saat ditemui, Rabu (25/8).
Kata Supardi, penyidikan lengkap terkait pengungkapan kasus tersebut akan terus dilakukan untuk memastikan penegakan hukum. "Kita akan terus melakukan pemeriksaan-pemeriksaan intensif terhadap sejumlah saksi untuk mencari bukti-bukti dan merumuskan perbuatan pidananya," kata Supardi.
Dalam rilis resmi Pusat Penerangan dan Hukum Kejakgung pernah menerangkan, kasus ini bermula pada 2017 ketika Perum Perindo menerbitkan Medium Term Notes (MTN), atau utang jangka menengah. MTN, dikatakan sebagai instrumen bagi perusahaan dalam mendapatkan permodalan untuk menjual prospek. Adapun prospek dalam bidang kerja Perum Perindo, adalah terkait dengan penangkapan ikan.
Selanjutnya, Perum Perindo mendapatkan dana MTN senilai Rp 200 miliar. Dana tersebut, terbagi ke dalam dua termin. Termin pertama Agustus 2017, senilai Rp 100 miliar, dengan return 9 persen dibayar per tiga bulan. Jangka waktu termin pertama tersebut, jatuh bayar pada Agustus 2020.
Termin kedua, senilai Rp 100 miliar, pada 2017, dengan return 9,5 persen dibayar per tiga bulan. Jangka waktu termin kedua pada Desember 2020.
Dari MTN yang diterbitkan di tahun 2017 itu, Perum Perindo menggunakan sebagian besar dananya untuk modal kerja perdagangan. Modal perdagangan tersebut, setelah melihat pendapatan Perum Perindo yang meningkat sejak 2016, senilai Rp 223 miliar. Peningkatan tersebut, berlanjut pada 2017 senilai Rp 603 miliar, dan 2017 senilai Rp 1 triliun.
Namun pada 2018, pencapaian yang sudah dilakukan menimbulkan permasalahan kontrol transaksi perdagangan yang lemah, di mana masih terjadi transaksi walau mitra terindikasi macet. Kontrol transaksi yang lemah tersebut, berujung pada perputaran modal yang melambat, dan menjadi piutang macet. Perputaran modal kerja yang melambat, akhirnya sebagian besar menjadi piutang macet sebesar Rp 181,196 miliar.