REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga saat ini, pemerintah dan DPR RI sepakat tidak merevisi Undang-Undang (UU) tentang Pemilu maupun UU Pilkada, sehingga tidak ada perubahan regulasi dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024. Publik diperkirakan beramai-ramai menempuh uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengatasi kebuntuan pengaturan elektoral yang ada.
"Kita ini makin dibuat bergantung pada para hakim dan pengadilan untuk terlibat di dalam pengaturan pemilu," ujar anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini dalam webinar publik, Kamis (26/8).
Dia mengatakan, tidak adanya revisi UU melalui parlemen membuat makin kuatnya kebutuhan dan ketergantungan pada MK untuk melakukan reformasi pengaturan pemilu (judicialization of politics). “MK menjadi the last resort dalam hal ini,” kata dia.
Ia mengatakan, apabila putusan MK pada akhirnya keluar mepet waktu di tengah tahapan Pemilu dan Pilkada 2024 maka berimbas pada kepastian hukum yang ada. Padahal, insentif dari tidak adanya revisi UU adalah kepastian hukum tersedia sejak awal.
Ia mengatakan, kepastian hukum terkait pengaturan pemilu yang melandasi penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024 dapat memudahkan persiapan dan konsolidasi kelembagaan penyelenggara dan peserta pemilu, khususnya partai politik. Penyusunan pengaturan teknis pun dapat dilakukan secara lebih matang yang juga disertai mitigasi risiko kepemiluan.
Dengan demikian, ia mengatakan, penyelenggara pemilu perlu segera menyelesaikan penyusunan pengaturan teknis kepemiluan. Sebab, tersedia waktu yang memadai untuk melakukan pendidikan pemilih, sosialisasi kepemiluan, dan dukungan layanan elektoral kepada partai politik serta pemangku kepentingan pemilu lainnya.
"Penyelenggara pemilu dan otoritas kepemiluan terkait harus sudah tuntas memecahkan persoalan kepemiluan yang bisa dijawab atau dicarikan solusinya melalui perubahan dan penguatan pada tataran pengaturan teknis," kata Titi.