REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri menyebutkan bahwa fluktuasi harga beras, khususnya untuk kualitas medium dan rendah sangat rentan memengaruhi daya beli masyarakat ekonomi menengah ke bawah dan berdampak pada angka kemiskinan yang bisa meningkat. Faisal dalam webinar mengenai HET Beras mengatakan bahwa pengeluaran masyarakat ekonomi menengah ke bawah didominasi untuk kebutuhan pangan khususnya beras.
"Semakin miskin rumah tangga, semakin besar porsi pengeluarannya untuk membeli beras, sehingga kalau harga beras naik tajam maka jumlah orang miskin otomatis akan melonjak," kata Faisal di Jakarta, Kamis (26/8).
Mengutip data BPS September 2020, Faisal mengemukakan persentase masyarakat miskin dan nyaris miskin di Indonesia sebanyak 35,8 persen. Selain itu kategori masyarakat rentan miskin, yaitu penduduk dengan pengeluaran per kapita per hari sebesar Rp25 ribu atau Rp100 ribu untuk keluarga dengan dua anak jumlahnya masih 52,8 persen.
"Jumlahnya masih lebih dari separuh, 52,8 persen atau 143 juta. Dan bisa diduga mayoritas dari mereka masih konsumsi beras dalam porsi yang sangat besar atau cukup besar dari pengeluaran mereka sebulan," kata Faisal.
Penduduk tersebut, lanjut dia, perekonomiannya masih akan terpengaruh dengan kenaikan harga beras.
Sementara Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengungkapkan hasil studinya yang menunjukkan bahwa fluktuasi harga beras di tingkat konsumen lebih kerap terjadi pada beras kualitas medium dan rendah, sementara beras premium cenderung stabil harganya.
"Yang ingin saya sampaikan, orang miskin atau yang berpendapatan menengah ke bawah cenderung mengalami fluktuasi harga yang lebih tinggi dibanding yang tidak miskin, yang memiliki kesempatan untuk membeli beras premium. Menurut saya ini sangat menyakitkan, karena orang menengah ke bawah butuhnya beras, tapi harganya berfluktuasi sangat tinggi," kata Rusli.
Fluktuasi harga beras di tingkat konsumen dan harga gabah di tingkat petani ditentukan dari produksi padi secara nasional. Rusli mengungkapkan pola produksi beras dari tahun ke tahun cenderung sama, yaitu defisit di akhir tahun hingga awal tahun yang menyebabkan harga melonjak.
Kemudian produksi meningkat di saat panen raya mulai Februari dan berlanjut hingga ke panen kedua pada Agustus-September yang membuat harga menurun.Fluktuasi harga beras pada kualitas medium dan rendah ini seiring sejalan dengan Nilai Tukar Petani (NTP), artinya petani turut menikmati ketika terjadi kenaikan harga beras di pasaran.
Namun hal berbeda terjadi pada jenis beras premium di mana harganya yang relatif stabil tidak berpengaruh pada NTP. Menurut Rusli, petani tidak menikmati harga jual beras premium yang tinggi seperti halnya terjadi pada beras medium dan kualitas rendah.
"Ini menurut saya ada sesuatu yang memisahkan antara petani dengan beras premium. Apakah ini ada semacam sudah melewati tengkulak, atau pedagang setelah petani yang bisa menikmati harga lebih tinggi menjual beras premium," katanya.
Rusli juga mengungkapkan data BPS yang menunjukkan bahwa margin atau keuntungan yang didapat dari usaha perdagangan dan logistik beras dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 2016 margin dari usaha perdagangan dan logistik beras sebesar 10,57 persen, angka tersebut meningkat menjadi 26,12 persen pada 2017.