REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembentukan Badan Pangan Nasional (BPN) yang tertuang dalam Perpres Nomor 66/2021 berpotensi memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun pelaksanaannya perlu terus dikawal agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain.
“Sistem ketahanan pangan sangat kompleks dan membutuhkan koordinasi lintas-kementerian, yang kuat,mulai dari isu pertanian di hulu, industri pengolahan pascapanen, distribusi dan logistik, keamanan dan kualitas, pola konsumsi masyarakat, perdagangan pangan dan tata niaga komoditas,” Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, dalam Siaran Pers, Kamis (26/8).
Selama ini Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Bulog memiliki peran dan wewenangnya masing-masing. BPN harus bisa mengkoordinasikan semua dengan baik dan bukan malah menambah tumpang tindih peraturan dan otoritas.
Gagasan mengenai BPN sebenarnya sudah ada dalam UU Pangan sejak 2012 namun baru diwujudkan sekarang. Sebagai institusi baru yang berada langsung di bawah presiden, BPN memiliki kewenangan membuat regulasi dan kebijakan pangan, terutama untuk sembilan komoditas pangan yang ditanganinya, yaitu beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas dan cabai.
Pasal 45 dan Pasal 50 Perpres Nomor 66/2021 menjelaskan bahwa peran Badan Ketahanan Pangan (BKP) yang selama ini berada di bawah Kementerian Pertanian akan diserap ke dalam BPN.
Badan yang baru ini juga diberi kewenangan memberikan penugasan kepada Bulog sebagai pelaksana kebijakan, sebagaimana tertuang dalam pasal 3c dan Pasal 29 tentang pengadaan, distribusi dan penyimpanan cadangan pangan pemerintah. Dalam Peraturan Presiden disebutkan BPN akan memiliki wewenang cukup luas untuk sembilan komoditas tersebut, dan akan mengambil alih beberapa peran yang selama ini dipegang beberapa kementerian.
Kementerian Pertanian akan mendelegasikan pembuatan kebijakan untuk cadangan pangan pemerintah dan kebijakan harga (HPP) kepada BPN sementara Kementerian Perdagangan akan menyerahkan kewenangannya dalam pembuatan kebijakan untuk stabilisasi harga dan
“Wewenang pembuatan kebijakan dan penentuan ekspor impor pangan komoditas strategis perlu dimanfaatkan oleh BPN secara strategis untuk mendorong ketahanan pangan Indonesia. Peraturan turunan perlu dirancang untuk menyederhanakan prosedur perdagangan pangan, sehingga memastikan ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi konsumen,” ujar Felippa.
Pasal 49 menyebutkan bahwa peran dan tanggung jawab Kementerian Perdagangan untuk menjamin stok dan menstabilkan harga tetap berlaku, tetapi hanya untuk komoditas di luar sembilan komoditas yang ditangani BPN.