Kamis 26 Aug 2021 22:14 WIB

Seteru di Kasepuhan, Dualisme Sultan

Sultan Arief kemudian meninggal dunia pada 22 Juli 2020.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Muhammad Fakhruddin
Seteru di Kasepuhan, Dualisme Sultan. Keraton Kasepuhan Cirebon.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Seteru di Kasepuhan, Dualisme Sultan. Keraton Kasepuhan Cirebon.

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Lilis Sri Handayani/Jurnalis Republika

Selamat Datang, Sugeng Rawuh. Tulisan itu terpasang di gerbang masuk Keraton Kasepuhan Cirebon. Suasana tenang dan damai, terasa di lingkungan keraton peninggalan Sunan Gunung Jati itu, Kamis (26/8) siang. Namun, dibalik ketenangan  tersebut, tersimpan seteru yang memantik bara yang kini masih memanas.

Situasi itu diawali dengan kemunculan Rahardjo Djali, yang mengaku sebagai cucu dari istri kedua Sultan Sepuh XI Tadjul Arifin Djamaluddin Aluda Mohammad Samsudin Radja Nataningrat, pada Juni 2020. Dia masuk ke dalam keraton dan menurunkan foto Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat dan permaisurinya. Saat itu, Sultan Arief sedang menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di Bandung.

Rahardjo juga melakukan aksi gembok pintu Bangsal Dalem Arum Keraton Kasepuhan. Namun pihak Sultan Arief mengambil alih kembali kendali Keraton Kasepuhan.  

Sultan Arief kemudian meninggal dunia pada 22 Juli 2020. Putranya, yakni PRA Luqman Zulkaedin, meneruskan tahta ayahnya sebagai Sultan Sepuh XV. Prosesi jumenengannya dilakukan pada 30 Agustus 2020.

Perseteruan di antara kubu Luqman dan Rahardjo terus berlanjut. Dua pekan sebelum Luqman dinobatkan menjadi sultan, Rahardjo dilantik sebagai polmak atau penjabat sementara (Pjs) sultan oleh keluarganya.

Bahkan, Rahardjo kemudian melakukan jumenengan atau pengangkatan/penobatan  dirinya sebagai Sultan Kasepuhan dengan gelar Sultan Aloeda II, pada Rabu, 18 Agustus 2021. Acara itu dilakukan di Omah Kulon, salah satu bangunan yang ada di dalam Keraton Kasepuhan Cirebon.

Rahardjo menyatakan, jumenengan terhadap dirinya dilakukan karena Sultan Sepuh XV, PRA Luqman, bukan keturunan murni Sunan Gunung Jati. Karena itu, Luqman dianggap tidak berhak atas tahta tersebut.

‘’Kalau merunut kembali dari kakek moyangnya Luqman, yaitu Alexander, beliau tidak memiliki hubungan darah sama sekali dengan Sultan Sepuh XI,'' tukas Rahardjo, Kamis, 19 Agustus 2021.

Karenanya, keturunan dari Sultan Sepuh XII Alexander Radja Radjaningrat, yakni Sultan Sepuh XIII PRA Maulana Pakuningrat, Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat, dan Sultan Sepuh XV PRA Luqman Zulkaedin, praktis bukan keturunan dari Sultan Sepuh XI. Sultan Sepuh XII hingga XV pun disebut bukan keturunan murni dari Sunan Gunung Jati.

Rahardjo menambahkan, dirinya pun berpegang pada putusan Mahkamah Agung (MA) tahun 1964, yang menolak forum previlegiatum yang diajukan Alexander. Dengan putusan itu, dia menilai NKRI pada 1958 tidak mengakui Alexander sebagai sultan.

Tak hanya melakukan jumenengan, Rahardjo juga melantik kabinetnya, Rabu (25/8) pagi. Kegiatan pelantikan itu berlangsung di Jinem Pangrawit, Keraton Kasepuhan. 

Terjadi kericuhan ketika pelantikan itu berlangsung. Ratu Alexandra Wuryaningrat, adik dari almarhum Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat, mendatangi lokasi pelantikan. Dia mengaku terkejut karena kegiatan itu dilakukan tanpa seizin Sultan Sepuh XV, PRA Luqman Zulkaedin.

''Harus seizin sultan,'' tegas perempuan yang menjabat sebagai Kepala Badan Pengelola Keraton Kasepuhan sekaligus bibi dari Sultan Sepuh XV, PRA Luqman.

Kedatangan Alexandra dan sejumlah pendukungnya langsung dihalau oleh para pendukung Rahardjo Djali. Karenanya, sempat terjadi aksi saling dorong dan tuding serta perdebatan di antara pendukung kedua kubu. 

Alexandra kemudian kembali masuk ke dalam keraton. Dia menyatakan, Keraton Kasepuhan hanya memiliki satu sultan, yakni Sultan Sepuh XV, PRA Luqman Zulkaedin.

''Di Keraton Kasepuhan ini sultan hanya satu (PRA Luqman Zulkaedin). Tidak ada sultan yang lain,'' tukas Alexandra. 

Sementara itu, Rahardjo menyatakan, tidak memerlukan izin siapapun untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Dia menegaskan, pihaknya merupakan keluarga besar Keraton Kasepuhan.

Ketegangan yang sempat mereda, justru bertambah panas di siang harinya dengan adanya pelemparan batu oleh sekelompok massa yang tak dikenal. Saat itu, selepas Dzuhur, sejumlah pendukung Rahardjo keluar dari Omah Kulon dan mengunjungi Lunjuk.

Tiba-tiba, sekelompok massa keluar dari keraton dan melakukan pelemparan batu. Belum diketahui dari mana kelompok massa itu berasal. Pendukung dari kubu Rahardjo pun berlarian ke Omah Kulon untuk menghindari lemparan batu tersebut.

Aparat kepolisian lantas membubarkan kelompok massa hingga mereka keluar dari lingkungan keraton. Polisi pun mengosongkan lingkungan keraton. Warga, termasuk yang hendak berwisata ke Keraton Kasepuhan, tidak diperkenankan memasuki lingkungan keraton.

Aparat kepolisian bersama dengan TNI berjaga di Keraton Kasepuhan. Hingga Kamis (26/8), penjagaan masih dilakukan meski dengan skala yang lebih kecil. Situasi pun terkendali dan kunjungan wisata kembali normal.

‘’Situasi kondusif,’’ kata Kapolres Cirebon Kota, AKBP Imron Ermawan.

Menanggapi pelemparan batu itu, Rahardjo mengaku tidak mengharapkan hal itu terjadi. Namun dia bersyukur, bukan pihaknya yang mendahului terjadinya ‘hujan batu’ tersebut.

‘’Merekalah yang mendahului. Kami tetap berpegang teguh jangan sampai ada tindakan yang mengarah pada tindak pidana dari pihak kami,’’ cetus Rahardjo.

Sementara itu, Sultan Sepuh XV, PRA Luqman Zulkaedin, hingga berita ini diturunkan, belum memberikan tanggapannya. Pesan yang dikirimkan Republika, hingga kini belum mendapatkan balasan.

Dihubungi terpisah, Sekretaris Buhun Santana Kesultanan Cirebon, Raden Hamzaiya, menilai, penyebab kericuhan itu akibat Rahardjo melakukan prosesi pelantikan petinggi Keraton Kasepuhan versi dirinya sendiri.

‘’Proses pelantikan itu, sama halnya seperti jumenengan, tidak melibatkan pihak Santana. (Tindakan Rahardjo) sangat terburu-buru dan sangat tidak mengedepankan nilai pepakem kesultanan,’’ kata Hamzaiya kepada Republika, Kamis (26/8).

Hamzaiya menjelaskan, Santana Kesultanan Cirebon merupakan wadah dzuriah atau keturunan Sunan Gunung Jati. Dia menegaskan, pihak Santana Kesultanan Cirebon tidak mengakui Luqman maupun Rahardjo sebagai Sultan Kasepuhan.

‘’Luqman maupun Rahardjo bukan keluarga kami,’’ tegas Hamzaiya.

Menurut Hamzaiya, garis keturunan Luqman bermuara pada Alexander (Sultan Sepuh XII). Dia menyatakan, Alexander bukan keturunan murni Sunan Gunung Jati.

Sedangkan Rahardjo, berasal dari garis keturunan perempuan dari Sultan Sepuh XI. Rahardjo merupakan anak dari Ratu Mas Dolly Manawijah, yang merupakan anak perempuan dari istri kedua Sultan Sepuh XI.

''Itu berlawanan dengan pepakem. Kami menentang keras,'' cetus Hamzaiya.

Meski menolak kedua sosok tersebut sebagai Sultan Kasepuhan, Hamzaiya menyatakan, pihaknya saat ini belum memutuskan siapa yang tepat menjadi sultan di Keraton Kasepuhan. Dia menjelaskan, pihaknya saat ini masih fokus untuk membenahi manajemen pengelolaan Keraton Kasepuhan.

Santana Kesultanan Cirebon bahkan pernah menggembok gerbang Keraton Kasepuhan Cirebon pada Selasa, 17 Agustus 2021. Selain menggembok, mereka juga memasang spanduk bertuliskan 'Segel'. Namun tak berselang lama, ada orang yang menurunkan spanduk itu kembali. 

Hamzaiya menyatakan, penyegelan itu merupakan bentuk ketidakpercayaan para dzuriyah Sunan Gunung Jati terhadap pengelolaan Keraton Kasepuhan. Dia menilai, pengelolaan Keraton Kasepuhan saat ini telah melanggar UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010. 

‘’Kami berharap Pemkot Cirebon dan Pemprov Jabar turun tangan untuk menyelesaikan (polemik) di (Keraton) Kasepuhan,’’ tandas Hamzaiya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement