REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG — Kepolisian Hong Kong tengah menyelidiki penyelenggara acara peringatan peristiwa Lapangan Tiananmen (Tiananmen Square). Dilaporkan bahwa penyelidikan dilakukan atas dugaan adanya pelanggaran kolusi asing.
Dilansir The Guardian, Chow Hang-tung, selaku wakil ketua Aliansi Hong Kong yang Mendukung Gerakan Demokratik Patriotik China (Hong Kong Alliance in Support of Patriotic Democratic Movements of China), mengatakan pihak berwenang telah menulis surat kepada anggota inti dari kelompok lama. Ada permintaan untuk memberikan informasi terkait hubungan asing dengan kelompok itu dalam 14 hari.
Menurut Chow, surat tersebut berisi tuduhan bahwa aliansi adalah agen pasukan asing. Polisi meminta informasi tentang keanggotaan, keuangan, dan kegiatan dari organisasi tersebut. Mereka diancam mendapatkan hukuman penjara enam bulan atau denda sebanyak 100.000 dolar Hong Kong atau sekitar Rp 185.686.879, jika tidak dapat memenuhi permintaan tersebut.
Selama beberapa dekade, Aliansi secara legal menjalankan gerakan seperti menyalakan lilin secara massal yang dihadiri hingga ratusan ribu orang. Namun, beberapa anggota senior kelompok itu harus berada dalam penjara.
Di antara anggota dari Aliansi yang saat ini berada dalam penjara adalah Lee Vheuk yan dan Albert Ho. Keduanya menjalani hukuman tersebut atas peran mereka dalam protes pro-demokrasi pada 2019.
"Sangat konyol bahwa polisi menuduh aliansi itu sebagai agen pasukan asing. Itu tidak ada hubungannya dengan agen asing atau menerima instruksi dari negara asing,” ujar Chow.
Chow menuduh polisi berencana untuk melenyapkan masyarakat sipil dengan mencegah kelompok-kelompok untuk menghubungi organisasi asing. Ia menyebut bahwa polisi keamanan menggunakan tuduhan politisasi agen asing ini untuk meminta aliansinya memberikan informasi.
“Seluruh masalah ini jelas merupakan penyalahgunaan undang-undang keamanan nasional untuk menekan organisasi sipil, ” kata Chow.
Peringatan peristiwa di Tiananmen Square diselenggarakan pada 4 Juni menjadi satu-satunya acara massal legal berskala besar di China atas peristiwa yang dianggap sebagai pembantaian pada 1989 terhadap pengunjuk rasa oleh pasukan keamanan. Namun, acara itu dilarang untuk diselenggarakan dalam dua tahun terakhir dengan alasan terkait pandemi, virus corona jenis baru (Covid-19).