REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Pemerintah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia (Aspeksindo) menggelar Munas dan peringatan HUT ke-4 secara daring, Kamis (26/8). Dalam kesempatan tersebut, Ketua Dewan Pakar Aspeksindo Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS membahas tentang pentingnya membangun Ekonomi Biru dari pinggiran (kepulauan dan pesisir) melalui makalah berjudul ‘Peta jalan Pembangunan Berbasis Ekonomi Biru dan Inovasi Menuju Daerah Kabupaten Aspeksindo yang Maju, Sejahtera, dan Mandiri’.
Guru Besar Kelautan dan Perikanan IPB University itu terlebih dahulu menjelaskan pengertian Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru.
Mengutip UNEP (2011), ia mengemukakan, Green Economy (Eokonomi Hijau) adalah ekonomi yang dibangun dan digerakkan oleh aktivitas manusia (produksi, transportasi, distribusi, dan konsumsi) yang mengemisikan sedikit CO2 (low carbon), menggunakan sumberdaya alam (SDA) secara efisien (resource efficient), dan secara sosial hasilnya dapat dinikmati oleh umat manusia secara adil (socially inclusive). Sedanagkan Blue Economy (Ekonomi Biru) adalah aplikasi Ekonomi Hijau di sektor-sektor ekonomi kelautan (UNEP, 2011).
“Adapun ekonomi kelautan (marine economy) adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia,” ujar ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.
Rokhmin mengungkapkan, potensi Blue Economy Indonesia sangat besar. Total potensi 11 sektor Blue Economy Indonesia adalah 1,348 triliun dolar AS/tahun atau lima kali lipat APBN 2019 (Rp 2.400 triliun = 190 miliar dolar AS) atau 1,3 PDB Nasional saat ini. “Blue Economy Indonesia bisa menyediakan lapangan kerja untuk 45 juta orang atau 40 persen total angkatan kerja Indonesia,” tuturnya.
Namun, potensi yang amat besar itu belum dimaksimalkan. Sebagai contoh, kata Rokhmin, pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4 persen. “ Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya lebih dari 30 persen,” papar ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.
Rokhmin lalu menawarkan peta jalan pembangunan Ekonomi Biru daerah kabupaten Aspeksindo yang maju, sejahtera, dan mandiri. Untuk itu ia menekankan pentingnya proses transformasi struktur ekoomi.
“Pertama, dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable),” kata Rokhmin yang juga menjabat sebagai Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024.
Kedua, modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Ketiga, PDB yang selama ini secara dominan disumbangkan oleh konsumsi (56 persen) dan impor (20 persen) harus dibalik, yakni invetasi dan ekspor harus menjadi kontributor yang lebih besar (lebih dari 70 persen).
“Keempat, semua unit usaha (bisnis) harus merapkan: (1) economy of scale (skala ekonomi); (2) Integrated Supply Chain Management System, baik pada tingkat nasional maupun global; (3) inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0); dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development),” paparnya.