REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Beberapa jam sebelum Taliban mengambil alih Kabul, sutradara perempuan Shahrbanoo Sadat ditawari untuk meninggalkan Afghanistan. Dia menolak karena tidak mau meninggalkan keluarganya.
Keesokan harinya, Shahrbanoo Sadat pergi ke bank. "(Tiba-tiba) kami lihat mobil Taliban dengan bendera putih dan kami berlari," kata Sadat.
Bagi Sadat, kejadian saat itu seperti adegan dalam film yang tidak mungkin nyata karena dia di tengah Kabul. Ditemani sembilan anggota keluarga, Sadat kemudian bertolak ke bandara Kabul. Mereka tiba di Paris awal pekan ini.
"Saya beruntung tapi situasi ini tidak terjadi untuk banyak orang," kata dia merujuk kepada orang-orang yang terjebak di bandara.
"Mereka tidak bisa bahasa Inggris, mereka bukan sutradara, mereka tidak punya teman internasional dan hidup mereka dalam bahaya," ujarnya lagi.
Sadat butuh 72 jam untuk meninggalkan apartemen dan bertemu dengan pasukan Prancis di bandara Kabul, di mana dia bermalam di kamp sebelum terbang ke Abu Dhabi. Dia mendeskripsikan suasana ricuh saat antre di luar bandara.
"(Taliban) ingin (orang antre) tapi tidak mungkin karena orang-orang mendorong dari sana-sini dan Taliban berjalan sambil membawa kabel, senjata, dan bahkan RPG (granat berpeluncur roket)," kata dia.
"Anak-anak menangis dan orang tua pingsan karena panas sekali," ujarnya.
Tidak kuat dengan panas dan lambatnya antrean, dia hampir menyerah, tapi saudarinya terus menyemangati. Sadat mengatakan dia melihat pria-pria, termasuk ayahnya, dipisahkan dari rombongan.
Sadat berusaha manghalangi itu. Dia mengatakan anggota Taliban agresif terhadap laki-laki, tapi tidak menyentuh perempuan.
"Dia membiarkan kami pergi," kata Sadat.
Bandara Kabul dipadati warga Afghanistan yang ingin dievakuasi menyusul pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban. Taliban telah berusaha meyakinkan orang di bandara Kabul bahwa mereka tidak perlu takut dan harus pulang.
Sadat merupakan sutradara kelahiran Iran yang tumbuh di Afghanistan. Dia sedang mengerjakan proyek film komedi romantis sebelum kabur. "Saya merasa campur aduk. Saya tidak mengerti ini. Semua terjadi begitu cepat," kata Sadat yang biasa membuat film dengan tema kehidupan biasa.
"Saya ingin terus membuat film tapi mungkin sudut pandang saya berubah," kata dia yang mengaku tak bisa lagi mengabaikan politik karena sangat terluka karenanya.