Momentum Mendesain Ulang Seleksi Anggota BPK
Red: Fernan Rahadi
Kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) | Foto: Dok BPK
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Richo Andi Wibowo (Dosen pada Departemen Hukum Administrasi Negara FH UGM)
Pasca-menurunnya kepercayaan publik terhadap komisioner KPK beserta insiden tes wawasan kebangsaan, publik perlu lebih berhati hati dan mencermati proses seleksi calon komisioner (anggota) BPK. Publik tentu menginginkan BPK dipimpin oleh orang yang mumpuni dan berintegritas.
Pencermatan ini dirasa semakin relevan karena baru saja terdapat gugatan masyarakat terhadap proses seleksi calon anggota BPK. Lebih dari itu, tampaknya memang ada isu fundamental yang perlu disepakati.
Sebagaimana yang mungkin diketahui, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) belum lama ini mengajukan gugatan ke PTUN terhadap SK yang diteken oleh Ketua DPR. SK ini menyatakan ada 16 calon anggota BPK. MAKI menilai terdapat 2 calon anggota yang dianggap tidak memenuhi syarat pada Pasal 13 ayat j UU 15/2006 tentang BPK.
Norma ini berbunyi, "untuk dapat dipilih sebagai anggota BPK, calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (…) j. paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara".
Kedua calon yang dipermasalahkan ini dipandang belum dua tahun meletakkan jabatannya. Calon pertama menjabat sebagai Kepala Kantor, sedangkan yang calon kedua menjabat sebagai Sekretaris di salah satu Ditjen; keduanya di lingkungan Kemenkeu. Mereka dipermasalahkan karena memegang posisi sebagai pengelola keuangan negara khususnya Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Kritik ini baik dan perlu diapresiasi. Namun publik perlu mempertimbangkan untuk menggunakan kasus ini sebagai pintu masuk ke diskusi yang lebih esensial. Ada kekaburan makna mengenai siapa yang sesungguhnya dimaksud dengan pengelola keuangan negara di Pasal 13 huruf j diatas.
Ketidakjelasan makna
Merujuk pada Pasal 6 UU 17/2003 tentang Keuangan Negara (KN), pengelolaan keuangan negara merujuk ke kekuasaan pemerintah dalam arti eksekutif semata. Bahkan, konteksnya menjadi amat spesifik pada pejabat tertentu saja, yakni ke Pengguna Anggaran (PA). Frase PA ini merujuk ke kewenangan Presiden selaku kepala pemerintahan, yang kemudian dikuasakan ke (i) Menteri Keuangan, (ii) Menteri atau pimpinan lembaga, dan (iii) Kepala Daerah yang diteruskan ke Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD).
Namun Pasal 1 angka 8 UU 15/2006 tentang BPK dan Pasal 1 angka 6 UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (PPTJKN) menunjukkan definisi yang berbeda dan amat sangat luas. Pengelola keuangan negara adalah pejabat yang "sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban".
Dengan definisi ini, lingkup pengelola keuangan negara bisa menjangkau aneka pejabat selain level PA; serta menjangkau aneka cabang kekuasaan negara di luar eksekutif (legislatif, yudikatif, auditif atau lembaga negara independent) - sepanjang terlibat pada kegiatan (i) merencanakan, (ii) melaksanakan, (iii) mengawasi, dan (iv) mempertanggungjawabkan keuangan negara.
Kocok ulang
Terhadap perbedaan pengaturan cakupan sebagaimana di atas, hemat penulis, yang paling aman bagi publik adalah jika pengambil keputusan menggunakan definisi yang disebut belakangan (yang merujuk pada UU BPK dan PPTJKN). Dengan melakukan ini, bisa menjadi pintu masuk untuk mencegah praktik yang kurang baik yang sebelumnya sempat dikritik publik.
Sebagaimana diketahui, sempat terjadi di mana terdapat anggota DPR aktif yang kemudian mencalonkan diri sebagai anggota BPK, lalu terpilih, dan baru setelah itu mengundurkan diri dari DPR. Padahal yang memiliki hak suara dalam menentukan pilihan tersebut adalah juga anggota DPR, sehingga diduga ada bias dalam peroses pemilihan tersebut.
Semestinya, sebagai anggota DPR, mereka pasti bertugas di salah satu komisi. Tugas mereka pasti adalah (perencanaan) anggaran atau pengawasan – termasuk pengawasan APBN. Sehingga sudah seharusnya mereka juga masuk dalam salah satu dari (iv) kategori pengelola keuangan negara. Maka, seharusnya mereka juga terikat pada ketentuan Pasal 13 huruf j diatas; harus menunggu jeda dua tahun.
Saat ini sudah ada 16 calon yang telah disahkan oleh DPR. Padahal banyak dari calon tersebut belum mengindahkan masa jeda di atas. Ada dari mereka yang sekalipun berada di lembaga kekuasaan negara diluar eksekutif, menjabat sebagai kepala kantor misalnya, sehingga dapat pula dianggap sebagai pengelola keuangan negara.
Mengingat sedikitnya calon yang tersisa jika konsep diatas diterapkan, baik kiranya jika proses seleksi ini tidak dilanjutkan. Proses seleksi ini perlu diulangi dari awal agar publik (via wakil rakyat) bisa mendapatkan calon yang bebas konflik kepentingan namun tetap memiliki banyak pilihan figur.
Sehingga gugatan MAKI di PTUN hendaknya tidak hanya bertujuan untuk menyoroti dua calon anggota BPK di atas saja, namun sekalian memohon untuk pembatalan keseluruhan SK. Diharapkan elaborasi pada ratio decidendi hakim yang menangani perkara ini dapat mencerahkan dan menjadi momentum untuk menyepakati makna pengelola keuangan negara dalam arti yang luas, dan mendesain seleksi calon anggota BPK, sebagaimana gagasan di atas.
Dengan demikian, semoga potensi konflik kepentingan dari para calon dapat dieliminir, tanpa pandang bulu dari cabang kekuasaan manapun mereka berasal.