Wabup Gunungkidul: Daerah-Pusat Beda Data Kemiskinan
Red: Fernan Rahadi
Big data (Ilustrasi) | Foto: Pixabay
REPUBLIKA.CO.ID, WONOSARI -- Permasalahan data kemiskinan baru-baru ini mencuat ke permukaan di tengah upaya pemerintah meringankan beban masyarakat tidak mampu akibat pandemi Covid-19. Apalagi, salah satu upaya tersebut adalah pemberian bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat miskin.
Wakil Bupati Gunungkidul, Heri Susanto, mengungkapkan terdapat ketidaksesuaian yang cukup besar antara Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dipakai pemerintah pusat dengan data kemiskinan yang digunakan pemerintah daerah.
"Terjadi deviasi (penyimpangan-Red) dan perbedaan yang cukup signifikan antara DTKS dengan data milik pemda," ujar Heri pada acara Forum Group Discussion (FGD) "Satu Data Kemiskinan, Bisakah Berharap kepada Pemda?" yang digelar Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul bekerja sama dengan Combine Resource Institution (CRI) beberapa waktu lalu.
Sebagai contoh, hasil penyandingan data kemiskinan antara DTKS dengan SIKAB Gumregah Kabupaten Gunungkidul di mana jumlah rumah tangga miskin di DTKS per Oktober 2020 berjumlah 137.824. Sedangkan di SIKAB berjumlah 106.491 dan hanya 103.405 rumah tangga saja yang datanya sesuai. Artinya ada lebih dari 30 ribu rumah tangga di data kemensos yang tidak valid.
Meskipun demikian, Heri memastikan data kemiskinan yang diterbitkan oleh Pemkab Gunungkidul melalui SIKAB adalah data riil di lapangan. "Kami sudah secara intens memastikan hal itu sehingga diharapkan ketidaktepatan sasaran bansos bisa kita minimalisir sehingga pelayanan Pemkab Gunungkidul ke depannya akan semakin baik," ujar Heri.
Heri pun meyakini saat ini yang terpenting tidak perlu berdebat tentang perbedaan data. "Kita yakin data ini nantinya akan sempurna. Untuk saat ini data yang bersumber dari pemda ini bisa jadi acuan dalam memberikan bantuan sosial," ujar Heri.
Heri mengutarakan, Pemkab Gunungkidul saat ini masih memiliki pekerjaan rumah besar mengingat dalam banyak aspek wilayah tersebut menduduki peringkat kelima di DIY, atau yang terendah di antara seluruh kabupaten/kota lain yang ada di DIY. Beberapa aspek di antaranya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, indeks gini, kualitas lingkungan hidup, dan infrastruktur daerah.
Apalagi, awal tahun ini terungkap angka kemiskinan di Gunungkidul sepanjang tahun 2020 meningkat akibat pandemi Covid-19. Berdasarkan hasil kajian dan penelitian dari Badan Pusat Statistik (BPS), ada tambahan jumlah keluarga miskin karena angka kemiskinan mencapai 17,07 persen
"Artinya, angka kemiskinan di Gunungkidul mengalami kenaikan 0,46 persen dari 2019 sebesar 16,61 persen naik menjadi 17,07 persen pada 2020," kata Heri.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden, Agung Hardjono, mengungkapkan salah satu masalah utamanya adalah karena Kemensos tidak memiliki kaki sampai daerah. Sementara itu, Koordinator Program Manajemen Sistem Informasi CRI, Elanto Wijoyono, mengatakan masalah DTKS bisa dihindari jika terdapat sistem integrasi data yang baik pada masing-masing tingkatan dari desa hingga pemerintah pusat.
"Sebagai contoh Gunungkidul memiliki masalah akses ke pemerintah pusat. Selain itu juga terdapat pekerjaan rumah dalam hal menginformasikan data tersebut ke publik," tutur Elanto.
Pada diskusi virtual yang digelar KPK 19 Agustus lalu, Menteri Sosial Tri Rismaharini menyatakan telah mengembalikan kewenangan perbaikan data kemiskinan ke daerah sesuai UU Nomor 13/2011. Kementerian Sosial (Kemensos) pun mengaktivasi fitur "usul" dan "sanggah" pada aplikasi Cek Bansos.
"Fitur ini bisa menjadi alat kontrol dari kemungkinan kurang tepatnya menetapkan penerima bantuan. Inilah yang dibutuhkan pemerintah daerah," ujar Risma.