Senin 30 Aug 2021 16:33 WIB

Indef: Badan Pangan tak Efektif Jika Ini Masih Terjadi

Jika kewenangan masih ada di kementerian, kehadiran BPN tak akan efektif.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Warga menjemur tembakau rajangan di lapangan lembah Sindoro-Sumbing Desa Kledung, Temanggung, Jateng, Senin (23/8). Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, keberadaan Badan Pangan Nasional (Bapanas) bukan solusi untuk pengembangan sektor pertanian di Indonesia.
Foto: Antara/Anis Efizudin
Warga menjemur tembakau rajangan di lapangan lembah Sindoro-Sumbing Desa Kledung, Temanggung, Jateng, Senin (23/8). Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, keberadaan Badan Pangan Nasional (Bapanas) bukan solusi untuk pengembangan sektor pertanian di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, keberadaan Badan Pangan Nasional (Bapanas) bukan solusi untuk pengembangan sektor pertanian di Indonesia. Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan, BPN tidak akan efektif dalam bekerja jika kewenangan-kewenangan masih ada di kementerian dan lembaga teknis. Hal itu menyebabkan terjadinya kerawanan tumpang tindih kebijakan yang justru membuat arah pembangunan pertanian tidak fokus.

"BPN juga bukan solusi untuk pengembangan sektor pertanian di Indonesia," kata Esther dalam webinar Indef, Senin (30/8).

Esther menilai, seharusnya fungsi-fungsi kementerian teknis yang sudah ada lebih dioptimalisasikan. Namun tetap di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian dengan fokus untuk mencapai swasembada.

"Banyak pekerjaan rumah sektor pertanian yang hars dipecahkan, karena pertumbuhan dari tahun ke tahun relatif kecil dan impor pangan masih berlangsung sampai sekarang," kata dia.

Sementara itu, senada dengan Esther, Ekonom Senior Indef, Faisal Basri, menilai BPN kurang berguna jika konflik kepentingan pun masih terjadi. beda kepentingan antar kementerian seperti yang kerap ditemui harus dihindari.

Ia mencontohkan, seperti dalam keputusan impor beras, terdapat kepentingan berbeda antara Kemenko Perekonomian bersama Kemendag dengan Kementan bersama Bulog dan BPS. Contoh lain, dalam keputusan impor garam di mana ada perbedaan pendapat antara Kemenko Perekonomian bersama Kemenperin dengan KKP.

"Saya sependapat tidak adagunanya BPN kalau model-model pendekatan ini (beda kepentingan) masih terjadi," ujarnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement