REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, tahun 2021 ini sudah 105 ribu hektare lebih hutan dan lahan terbakar di 33 provinsi. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) paling luas terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Dirjen PPI) KLHK, Laksmi Dhewanthi mengatakan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sejak Januari - Juli 2021 seluas 105.789 hektare (ha). Seluas 86.231 ha di antaranya terjadi di lahan mineral. Sisanya di lahan gambut.
Karhutla seluas itu tersebar di 33 provinsi. "Data menunjukkan karhutla terjadi hampir semua provinsi, kecuali DKI Jakarta," kata Laksmi dalam jumpa pers daring, Senin (30/8).
Dalam data yang dipaparkan Laksmi, tampak karhutla paling banyak terjadi di NTT, yakni seluas 41.818 ha. Artinya, sekitar 39 persen karhutla tahun ini terjadi di NTT. Adapun karhutla di provinsi itu terjadi hanya pada lahan mineral.
Setelah NTT, menyusul Nusa Tenggara Barat (NTB). Luas lahan terbakar di provinsi kedua tertinggi ini mencapai 19.372 ha, yang semua juga di lahan mineral.
Urutan ketiga ditempati Kalimantan Barat. Di sana, karhutla menghanguskan 15.309 ha. Sebanyak 11.639 di antaranya adalah lahan gambut. Sedangkan di 30 provinsi lainnya, luas lahan terbakar masih di bawah 10 ribu ha.
Meski NTT dan NTB sudah memuncaki klasemen, tapi karhutla masih berpotensi terjadi di dua provinsi itu pada September dan Oktober 2021. "Untuk bulan September-Oktober, potensi karhutla atau hotspot kategori menengah hingga tinggi berpeluang terjadi di sebagian NTB dan NTT," kata Laksmi.
Namun demikian, hingga kini, dua pemerintah provinsi itu belum menetapkan status siaga darurat karhutla. Padahal, pada Agustus sudah terdapat 28 titik panas di NTB dan 81 di NTT.
Adapun wilayah yang sudah menetapkan status siaga darurat karhutla adalah Provinsi Riau, Jambi, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Status darurat itu diterapkan hingga Oktober maupun Desember.