Selasa 31 Aug 2021 06:30 WIB

Benteng Kuto Besak Masih Jadi 'Pajangan' Kota Palembang

Gagasan mendirikan Benteng Kuto Besak diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I.

Red: Bilal Ramadhan
Benteng Kuto Besak
Foto: Republika
Benteng Kuto Besak

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Benteng Kuto Besak yang terletak di pinggiran Sungai Musi, Kota Palembang, Sumatera Selatan awalnya merupakan bangunan keraton yang pada abad XVIII menjadi pusat Kesultanan Palembang.

Gagasan mendirikan Benteng Kuto Besak (BKB) diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) I yang memerintah pada tahun 1724-1758 dan pelaksanaan pembangunannya diselesaikan oleh penerusnya yaitu Sultan Muhammad Bahauddin yang memerintah pada tahun 1776-1803.

Sultan Mahammad Bahauddin ini adalah seorang tokoh Kesultanan Palembang Darussalam yang realistis dan praktis dalam perdagangan internasional, serta seorang agamawan yang menjadikan Palembang sebagai pusat sastra agama di nusantara.

Menandai perannya sebagai sultan, dia pindah dari Keraton Kuto Lamo ke Kuto Besak. Belanda menyebut Kuto Besak sebagai 'nieuwe keraton' alias keraton baru.

Keraton ini berdiri di tanah yang luas, berbentuk persegi panjang menghadap ke Sungai Musi, panjangnya 274,32 meter, dan lebar 182,88 meter, dikelilingi tembok besar yang tingginya mencapai 9,14 meter, tebal 2,13 meter, dengan empat kubu (bastion di setiap sudutnya).

Dengan sejumlah meriam yang terbuat dari besi dan kuningan, Keraton memiliki pelataran yang luas, balai agung, gerbang besar. Kemudian pada bagian dalamnya terdapat pula keputren, paseban, ruang tempat menerima tamu, tempat kediaman sultan dan permaisuri.

Sedangkan di tengah keraton terdapat kolam dengan perahu, taman, dan pohon buah-buahan.Di antara keraton Kuto Besak dan keraton Lamo, terdapat jalan menuju masjid utama kerajaan.

Benteng tersebut mulai dibangun pada tahun 1780 dengan arsitek yang tidak diketahui dengan pasti dan pelaksanaan pengawasan pekerjaan dipercayakan pada seorang Tionghoa.

Semen perekat bata menggunakan batu kapur yang ada di daerah pedalaman Sungai Ogan ditambah dengan putih telur. Waktu yang dipergunakan untuk membangun Kuto Besak itu kurang lebih 17 tahun.

Keraton tersebut ditempati secara resmi pada hari Senin pada 21 Februari 1797. Berbeda dengan letak keraton lama yang berlokasi di daerah pedalaman, keraton baru berdiri di posisi yang sangat terbuka, strategis, dan sekaligus sangat indah karena menghadap ke Sungai Musi.

Pada masa itu, Kota Palembang masih dikelilingi oleh anak-anak sungai yang membelah wilayah kota menjadi pulau-pulau. Kuto Besak pun seolah berdiri di atas pulau karena dibatasi oleh Sungai Sekanak di bagian barat, Sungai Tengkuruk di bagian timur, dan Sungai Kapuran di bagian utara.

Benteng Kuto Besak terutama pada bagian dalamnya saat ini tidak lagi seperti pada awal dibangun dan ditempati untuk perkantoran salah satu kesatuan Komando Daerah Militer (Kodam) II Sriwijaya.

Untuk memanfaatkan Benteng Kuto Besak (BKB) secara maksimal, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama Palembang, R.M.Fauwaz Diradja meminta dukungan politik untuk mengelola BKB dan peninggalan kesultanan lainnya di Bumi Sriwijaya itu.

"Perjuangan untuk mengelola dan memanfaatkan peninggalan Kesultanan Palembang terutama Benteng Kuto Besak (BKB) di tepian Sungai Musi yang kini digunakan sebagai perkantoran TNI/Kodam II Sriwijaya memerlukan dukungan politik," ujar Sultan SMB IV.

Menurut R.M.Fauwaz ketika menerima kunjungan pengurus DPW PKB Provinsi Sumsel di istana adat Kesultanan Palembang Darussalam, peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam yang masih berdiri kokoh yakni Masjid Agung Jaya Wikrama, Kawah Tengkurep, dan Benteng Kuto Besak.

Benteng Kuto Besak hingga sekarang ini hanya sebagai pajangan karena bisa dinikmati dari bagian luar saja sementara pada bagian dalamnya tertutup karena terdapat perkantoran TNI.

"Melihat kondisi tersebut, pihaknya terus berupaya mencari dukungan dari pemerintah dan politikus di tingkat lokal dan pusat," kata Sultan SMB IV.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement