REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah melalui Pengadilan Agama diminta memberikan perhatian khusus kepada anak-anak yang ditinggal orang tuanya meninggal karena Covid-19. Pandemi yang terjadi di Indonesia ini membuat banyak orang dewasa yang telah memiliki anak meninggal dunia.
"Supaya berhukum tetap dan kuat hendaknya pemerintah melalui Pengadilan Agama memberikan perhatian khusus," kata Pengasuh Pondok Pesantren Tafaqquh KH Mustofa Umar saat dihubungi Republika, Ahad (30/8).
Menurutnya, perhatian khusus pemerintah kepada anak yatim ini penting dilakukan, supaya secepatnya menetapkan hak waris yatim piatu. Dan kata KH Mustofa hendaknya ada individu/lembaga sosial (kaafilul-yatiim) yang tampil untuk membantu melaksanakannya
"Sehingga anak-anak yatim segera mendapatkan hak-haknya," katanya.
KH Mustofa Umar menyarankan, masjid-masjid yang telah memiliki badan hukum, berbentuk yayasan agar bisa membantu anak-anak yatim dengan membentuk badan khusus membantu anak yatim. Seperti diketahui banyak beberapa masjid terutama di Jakarta memiliki saldo dengan jumlah besar membantu memenuhi standar kebutuhan hidup layak anak yatim.
"Institusi masjid yang sudah berkekuatan hukum kuat (dengan Akta Yayasan) bisa sebagai Badan Pelaksana Amanah harta anak yatim yang disebut oleh Nabi sebagai Kaafilul-yatiim," katanya.
Sementara, Prof Quraish Shihab mengatakan, ayat di atas (An-Nisa ayat 2) menerangkan tentang siapa yang harus dipelihara hak-haknya dalam rangka bertakwa kepada Allah dan memelihara hubungan rahim itu. Tentu saja yang utama adalah yang paling lemah, dan yang paling lemah adalah anak yang belum dewasa yang telah meninggal ayahnya, yakni anak-anak yatim.
"Karena itu yang pertama diingatkan adalah tentang mereka," katanya.
Ayat ini memerintahkan kepada para wali: "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka."
Artinya ketika kita memeliharalah harta anak yang belum dewasa yang telah meninggal ayahnya, yang berada dalam pengasuhan kita maka berikanlah harta milik anak-anak yang tadinya yatim dan kini telah dewasa.
"Dan jangan kamu dengan sengaja"
Dan sungguh-sungguh sebagaimana dipahami dari penambahan huruf ta ’ pada kata tatabaddalu (menukar) dengan mengambil harta anak yatim yang buruk, yakni yang haram dan mengambil yang baik untuk harta kamu, yakni yang halal, dan jangan juga kamu makan,yakni gunakan atau manfaatkan secara tidak wajar harta mereka didorong
oleh keinginan menggabungnya bersama harta kamu.
"Sesungguhnya itu, yakni semua yang dilarang di atas adalah dosa dan kebinasaan yang besar," tulis Prof Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah.
Menurutnya, kata tatabaddalu, ada yang memahaminya dalam arti menjadikan, karena menukar adalah menjadikan sesuatu di tempat sesuatu yang lain, sehingga atas dasar itu sementara ulama memahami larangan di atas
dalam arti:
"Jangan kamu jadikan harta yang buruk buat mereka dan harta yang baik buat kamu,"
Artinya jangan mengambil harta-harta mereka yang bernilai tinggi dan meninggalkan buat mereka yang tidak bernilai. Memang pada masa Jahiliah, banyak wali yang mengambil harta anak yatim yang kualitasnya baik dan menukarnya dengan barang yang sama milik wali tapi yang berkualitas buruk, sambil berkata bahwa kedua barang itu sama jenis atau kadarnya.