Petanesia Cilacap Minta Penista Agama Dihukum Maksimal
Red: Agus Yulianto
Penistaan agama. (ilustrasi) | Foto: Republika/Mardiah
REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTP -- Dewan Pimpinan Cabang Pencinta Tanah Air Indonesia (DPC Petanesia) Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, meminta aparat penegak hukum memberi hukuman maksimal terhadap para penista agama. Ini agar memberikan efek jera bagi pelakunya maupun pihak lain yang akan melakukan perbuatan serupa.
"Hukuman bagi para penista agama memang sudah diatur dalam Pasal 156a KUHP yang dari Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yakni pidana penjara maksimal 5 tahun," kata Ketua DPC Petanesia Kabupaten Cilacap M.Taufiq Hidayatulloh saat dihubungi dari Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Selasa (31/8).
Akan tetapi, dalam praktiknya, vonis pengadilan sering kali tidak mencapai hukuman maksimal seperti ketentuan Pasal 156a KUHPsehingga tidak menimbulkan efek jera. Dia mengatakan, bahwa kasus penistaan atau penodaan agama sebenarnya tidak hanya terjadi pada agama Islam, tetapi juga agama lainnya yang ada di Indonesia.
"Mereka terlalu bersemangat beragama, menyebarkan agama, dan berdakwah tetapi tanpa mengindahkan penghormatan terhadap pemeluk agama lain," katanya.
Menurut dia, semangat beragama atau berdakwah itu bagus. Akan tetapi, lebih bagus lagi membawa misi agama sebagai rahmat bagi semesta, rahmatan lil alamin.Ia mengatakan bahwa 'politisasi agama' itu menyebabkan para tokoh yang melakukan penodaan terhadap agama merasa aman.
"Ini saya kira saatnya hukum ditegakkan, tidak boleh kemudian beragama atau menyebarkan agama tetapi tanpa mengindahkan perasaan dan pikiran penganut agama lain," katanya menegaskan.
Taufiq mengatakan, perilaku menistakan agama tersebut juga sangat berpotensi memecah belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan agama. Oleh karena itu, kata dia, jawabannya adalah hukum harus bertindak tegas dan keras terhadap para penista agama.
Dia mencontohkan sebuah kisah dalam agama Islam, yakni tentang Musailamah yang diperangi oleh Rasullullah karena dinilai menistakan agama Islam. Mestinya, lanjut dia, yang menistakan agama Islam juga diperangi oleh orang Islam, tidak malah kemudian mendapatkan applause dari kelompok mereka, seolah-olah merekalah para pahlawan, para pejuang yang berani untuk berbicara dengan merendahkan agama lain itu suatu yang benar dan didukung, laris di pengajian-pengajian.
"Ini suatu sikap yang menurut saya yang tidak semestinya dilakukan oleh umat beragama, begitu pula dengan agama lain," katanya.
Ditekankan pula, bahwa seharusnya mereka yang berdakwah dengan cara menjelek-jelekkan atau menistakan agama lain juga tidak diberi panggung. Akan tetapi, yang terjadi justru mereka mendapatkan panggung, pengikut (followers) yang begitu banyak, didukung oleh pemeluk agamanya, seolah-olah yang mereka lakukan adalah sesuatu yang benar dan harus didukung serta diperjuangkan. "Ini memprihatinkan menurut saya," katanya menegaskan.
Terkait dengan kasus Muhammad Kece dan Yahya Waloni, dia mengaku sudah agak lama mengikuti YouTube milik dua tersangka dugaan penodaan agama tersebut. Dia berkesimpulan, sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat bahwa Yahya Waloni tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menjadi seorang mubalig atau dai dalam agama Islam.
Begitu pula dengan Kece, menurut M.Taufiq, bukanlah pemeluk agama Kristen yang baik sama, bahkan pengetahuan yang bersangkutan atas agamanya maupun agama Islam yang sering dipojokkan itu juga sama sekali tidak memadai.
Dia menyebutkan, Kece menggunakan nama Muhammad. Akan tetapi, sesungguhnya nama itu tidak merepresentasikan bahwa dia itu seorang muslim yang memahami pengetahuan keagamaan dengan baik.
Dia memberikan apresiasi kepada Mabes Polri yang telah menangkap Muhammad Kece dan Yahya Waloni serta mengharapkan agar penista agama lainnya yang kabur ke luar negeri, yakni Jozeph Paul Zhang dapat segera ditangkap.