REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Inggris mempertahankan "hak untuk melakukan pembelaan diri" setelah menarik diri dari Afghanistan, kata Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab pada Selasa.
Menlu Inggris Raab berbicara kepada saluran berita Inggris ITV setelah Kepala Angkatan Udara Inggris Marsekal Sir Mike Wigston mengatakan kepada harian Daily Telegraph bahwa Inggris dapat meluncurkan serangan udara terhadap ISIS-K, cabang kelompok teroris Daesh di Afghanistan.
“Pada akhirnya intinya kita harus dapat memainkan peran global dalam koalisi internasional untuk mengalahkan Daesh, apakah itu serangan, atau apakah itu memindahkan pasukan atau peralatan ke negara tertentu," kata Sir Mike.
"Jika ada kesempatan bagi kami untuk berkontribusi, saya tidak ragu bahwa kami siap itu akan terjadi di mana saja di mana ekstremisme kekerasan muncul, dan merupakan ancaman langsung atau tidak langsung bagi Inggris dan sekutu kami,” tutur dia.
"Afghanistan mungkin adalah salah satu bagian dunia yang paling sulit diakses, dan kami dapat beroperasi di sana," lanjut dia.
Baca juga : AS: Perang Kami di Afghanistan sudah Selesai
Raab juga menolak klaim pihak Amerika Serikat (AS) yang bocor bahwa upaya evakuasi Inggris menyebabkan serangan bom di luar bandara Kabul, di mana lebih dari 170 orang tewas termasuk 13 tentara AS.
Media Politico memperoleh dokumen bocor dari Pentagon yang mengungkapkan Peter Vasely, komandan pasukan AS di Afghanistan, ingin menutup rute ke bandara di Gerbang Abbey, tetapi dibiarkan terbuka untuk memungkinkan pengungsi Inggris melintasinya.
Berbicara kepada Sky News, Raab mengatakan, "Kami berkoordinasi sangat erat dengan AS, khususnya terkait ancaman ISIS-K yang kami antisipasi, meski secara tragis tidak dapat dicegah.”
"Memang benar kami menggiring warga sipil kami dari pusat penampungan melalui Gerbang Abbey, tetapi tidak benar untuk mengatakan selain mengamankan warga sipil kami di dalam bandara, kami membiarkan gerbang terbuka," ujar menlu Inggris.
Raab menambahkan bahwa dia memiliki hubungan kerja yang sangat baik dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken.