Kamis 02 Sep 2021 10:02 WIB

Percepat Penurunan Stunting, 1 Desa Harus Punya 1 Bidan

Untuk percepatan penurunan stunting dilakukan melalui pendekatan keluarga berisiko

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
Kepala BKKBN, Dr (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K)  mengatakan, untuk percepatan penurunan stunting dilakukan melalui pendekatan keluarga berisiko.
Foto: BKKBN
Kepala BKKBN, Dr (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) mengatakan, untuk percepatan penurunan stunting dilakukan melalui pendekatan keluarga berisiko.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu stunting di tingkat pusat hingga kabupaten/kota sudah cukup mendapat perhatian tinggi, namun di tingkat desa untuk perubahan perilaku pelayanan kesehatan terkait pencegahan stunting seperti layanan pemeriksaan kehamilan atau perawatan bayi baru lahir masih belum terasa gaungnya.

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, untuk percepatan penurunan stunting dilakukan melalui pendekatan keluarga berisiko. Salah satunya melalui penyediaan data keluarga berisiko stunting; pendampingan keluarga berisiko stunting; pendampingan calon pengantin keluarga berisiko stunting dan audit kasus stunting.

Baca Juga

“BKKBN ingin menempatkan diri menjadi pendamping keluarga (sebelum hamil/pra nikah, hamil dan masa interval) dengan dukungan dari Penyuluh KB, Kader, PKK kemudian juga kami mengusulkan kepada Bapak Menkes agar Bidan ditiap desa itu harus dan wajib ada. Menurut IBI (Ikatan Bidan Indonesia) masih ada desa yang belum memiliki bidan dalam hal ini adalah bidan pemerintah,” kata Hasto dalam keterangannya, Kamis (2/9).

Menurut Hasto upaya pencegahan stunting sudah banyak dilakukan. Salah satunya yakni intervensi sensitif yakni kegiatan yang berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting yang umumnya berada di luar persoalan kesehatan. Intervensi sensitif terbagi menjadi 4 jenis yaitu penyediaan air minum dan sanitasi, pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi serta peningkatan akses pangan bergizi.