REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Satuan Tugas (Kasatgas) Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Harun Al Rasyid menegaskan bahwa peran 57 pegawai tak lulus TWK krusial dalam pemberantasan korupsi. Dia mengatakan, mereka merupakan aset KPK yang harus dipertahankan.
"57 pegawai KPK ini adalah aset bangsa dan aset KPK bernilai tinggi. Tengok saja setelah lebih dari 100 hari KPK tak melakukan OTT," kata Harun Al Rasyid kepada Republika di Jakarta, Kamis (2/9).
Harun yang dijuluki 'Raja OTT' mengatakan, keberadaan 57 pegawai tersebut membantu kerja-kerja senyap dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK diketahui baru saja meringkus Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari terkait suap lelang jabatan kepala desa di daerah tersebut.
Dia ditangkap KPK bersama dengan anggota DPR RI sekaligus mantan Bupati Probolinggo, Hasan Aminuddin yang juga suami Puput. Operasi senyap itu sempat dipimpin oleh Harun.
"Kerja-kerja senyap itu membuktikan bahwa peran 57 pegawai KPK ini sangat penting dan strategis bagi KPK di masa-masa kini dan mendatang," katanya.
Baca juga : Satgas: Kasus Aktif Turun Drastis di Agustus
Dia meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melihat polemik TWK ini secara jernih. Menurutnya, keseriusan Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi di Nusantara akan terlihat ketika menyikapi laporan Komnas HAM dan Ombudsman RI terkait banyaknya pelanggaran dalam pelaksanaan TWK.
Harun mengatakan, harapan dan semangat masyarakat akan kembali tumbuh manakala Presiden mengambil langkah strategis untuk berpihak kepada 57 pegawai KPK yang dinyatakan tak lulus tes TWK. Dia mengingatkan Presiden, bahwa tes tersebut merupakan kreasi yang dijalankan dengan penuh intrik dan sarat dengan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan oleh lembaga-lembaga terkait
"Syak dan wasangka yang selama ini hidup dan bersemayam di hati masyarakat bahwa Presiden kurang aktif dan kurang berpihak pada upaya pemberantasan korupsi dengan sendirinya akan terbantahkan," katanya.
Seperti diketahui, Komnas HAM menyimpulkan bahwa KPK telah melakukan pelanggaran HAM dalam proses asesmen TWK pegawai lembaga antirasuah tersebut. Komnas HAM menyebutkan bahwa ada 11 pelanggaran hak asasi yang dilakukan KPK.
TWK dinilai sebagai pelanggaran HAM karena telah melanggar dasar prinsip HAM, yakni perlakuan sama di depan hukum, non-diskriminasi, tidak merendahkan harkat dan martabat seseorang. Komnas HAM juga menilai bahwa TWK merupakan bentuk pengasingan terhadap para pegawai yang diberi label sebagai taliban.
Baca juga : Komisi II Pastikan Pemilu Tetap Digelar di 2024
Pelanggaran dalam pelaksanaan TWK sebelumnya juga sempat ditemukan oleh Ombudsman Republik Indonesia. Lembaga tersebut menemukan kecacatan administrasi dalam seluruh pelaksanaan peralihan status tersebut, termasuk penyisipan pasal dalam perkom nomor 1 tahun 2020 sebagai landasan TWK.