Vaksin Booster bagi Masyarakat Dirasa Belum Mendesak
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Petugas medis menyiapkan vaksin COVID-19 dosis pertama. | Foto: Antara/Basri Marzuki
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Beberapa waktu terakhir dibahas pemberian vaksin booster atau dosis ketiga bagi masyarakat umum. Pakar virologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dr Mohamad Saifudin Hakim merasa, saat ini Indonesia belum perlu memberikan vaksin booster bagi masyarakat umum.
Namun, vaksin dosis ketiga bisa diberikan secara terbatas kepada tenaga kesehatan (nakes). Sebab, bagi nakes yang memang diperlukan vaksin booster karena dari sisi jumlah sedikit dan mereka merupakan pejuang yang ada di garda depan penanganan. "Sehingga, berisiko besar terpapar covid," kata Saifudin, Jumat (3/9).
Ia mengatakan, yang terpenting justru meningkatkan cakupan vaksinasi nasional. Sebab, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan vaksin. Saat ini, masyarakat umum yang sudah mendapatkan vaksin hingga dosis kedua baru sekitar 18 persen.
Terutama, kelompok lansia yang berisiko tinggi. Selain itu, vaksin booster belum masuk dalam rekomendasi WHO. Bahkan, belum lama ini, WHO meminta agar negara-negara mempertimbangkan kembali urgensi pemberian vaksin booster.
Dijelaskan, dari sisi imunologi, pemberian vaksin booster memang bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh yang diperoleh dari dua dosis vaksin sebelumnya. Melatih lagi sel-sel memori penghasil antibodi yang dihasilkan dua dosis vaksin.
Daya ikat antibodi juga menjadi lebih baik terhadap virus SARS-CoV-2 penyebab covid. Sejumlah studi awal menunjukkan jika dengan pemberian vaksin booster atau dosis ketiga, baik merek vaksin yang sama atau berbeda, mampu memperkuat imunitas.
Meski begitu, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum pemberian vaksin booster. Pertama, terkait penurunan level imunitas karena hingga kini belum jelas imunitas usai pemberian vaksin sebelumnya bertahan, terjadi penurunan atau tidak. "Jika benar terjadi penurunan, maka pemberian booster bisa dipertimbangkan," ujar dia.
Kedua, efektivitas vaksin. Data saat ini belum cukup memastikan adakah penurunan efektivitas vaksin mencegah gejala berat covid sekian bulan usai dosis kedua. Lalu, angka kejadian covid mereka yang sudah mendapatkan vaksin dua dosis.
"Lalu bagaimana efektivitas vaksin terhadap varian corona baru yang menjadi perhatian global (VoC)? Jika ada data penurunan efektivitas vaksin dua dosis, pemberian booster bisa dipertimbangkan," kata Saifudin.
Ketiga, pasokan vaksin global dan nasional. Kebijakan pemberian vaksin booster perlu memertimbangkan ketersediaan vaksin global maupun nasional suatu negara.
Sebab, masih banyak negara yang belum mendapatkan dosis pertama. "Ini bisa memperparah prinsip kesetaraan nasional dan global dalam akses terhadap vaksin selama pandemi," ujarnya.