REPUBLIKA.CO.ID, – Periode paling dahsyat dari Perang Salib adalah Perang Salib III yang terjadi pada 1187-1192 M. Pada periode ini muncul seorang pemimpin dari kalangan Islam Sunni bernama Salahuddin Al Ayyubi. Ia adalah pemimpin kaum Muslimin yang merebut kembali Yerussalem dari tangan kaum Kristen Eropa.
Pada 2 September 2021, bertepatan dengan ulang tahun ke-892 penandatangan perjanjian damai antara Salahuddin Al Ayyubi dengan Raja Richard I dari Inggris.
Perjanjian damai yang dilakukan pada 2 September 1192 M tersebut bernama Shulh al-Ramlah.
Pejanjian damai tersebut dilakukan setelah Pertempuran Arsuf selama Perang Salib III. Berdasarkan ketentuan perjanjian, Yerusalem akan tetap berada di bawah pemerintahan Muslim, tapi orang Kristen diperbolehkan untuk berziarah ke kota.
Lalu bagaimana orang Eropa memandang Sultan Salahuddin al-Ayyubi?
Dalam tulisannya di youm7, Muhammad Abdul Rahman menjelaskan bahwa meskipun Salahuddin Al Ayyubi mengalahkan tentara Eropa, tapi sosoknya masih dikagumi orang-orang Eropa. Bahkan, menurut dia, Eropa menganggapnya sebagai legenda dalam taktik perang dan toleransi militer.
Salahuddin Al Ayyubi merupakan pemimpin Muslim asal Kurdi. Kemudian, dia datang ke Mesir untuk mendirikan Dinasti Ayyubiyah. Hingga akhirnya Salahuddin ditakdirkan menjadi pejuang Muslim yang sudah banyak tercatat dalam sejarah.
Sultan Al Ayyubi tampil sebagai pemimpin dengan memukul mundur dan menaklukkan gelombang kolonial yang mendorong Benua Eropa di bawah pengaruh fanatisme etnis dengan eksploitasi slogan-slogan keagamaan. Karena itu, Salahuddin Al Ayyubi menundukkan mereka yang memanfaatkan lambang salib.
"Saladin", seperti yang diucapkan di Barat, masih merupakan nama pahlawan sejarah. Dia memiliki banyak penggemar asal Kurdi, Arab, Iran, Turki, Maroko, dan bahkan dari berbagai negara Eropa.
Dia terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang ksatria dan pengampun. Salahuddin Al Ayyubi hidup sekitar 55 tahun dan wafat pada 3 Maret 1193 M.