Jumat 03 Sep 2021 19:03 WIB

Syekh Ali Jumah: Tak Ada Teks Tegas Soal Poligami di Alquran

Risalah Islam diturunkan untuk membatasi poligami

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Risalah Islam diturunkan untuk membatasi poligami. Menikah.   (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Risalah Islam diturunkan untuk membatasi poligami. Menikah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mantan Mufti Agung Mesir Syekh Ali Jumah (Ali Gomaa) mengatakan, bahwa salah satu masalah pelik terkait status perempuan dalam peradaban Islam adalah masalah poligami. 

Dia menekankan bahwa kedatangan Islam bukanlah untuk menyerukan poligami, namun datang untuk membatasi poligami.

Baca Juga

Dilansir di El-Baladnews, Jumat (3/9), dalam peradaban Islam masalah poligami dan kesalahpahaman berikutnya atau klaim menyesatkan yang sepenuhnya bertentangan dengan apa yang terjadi kerap terdengar. 

Syekh Ali menjelaskan, syariat Islam yang sebenarnya justru mengoreksi konsep dan menetapkan fakta mengenai poligami. “Kita harus tahu bahwa Islam datang untuk membatasi poligami,” kata Syekh Ali Jumah.

Sehingga, kata dia, Islam tidak datang untuk menyerukan poligami sebagaimana yang dipahami orang-orang tertentu. Hal ini sebagaimana yang terekam dalam sebuah riwayat berdasarkan hadits Nabi. Saat itu Ghailan bin Salamah Ats Tsaqafi memeluk Islam dan memiliki sepuluh orang istri.

Melihat hal itu, Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Ikhtar minhunna arba’an,”. Yang artinya, “Pilihlah empat dari mereka.”  Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad.

Syekh Ali menjelaskan bahwa dari hadits tersebut, maka tampaklah bahwa Islam mengatur pembatasan jumlah istri yang banyak. Dan sebaliknya, kata Syekh Ali, tidak ada perintah bagi yang menikahkan untuk menikah dengan yang lain, karena poligami bukan untuk dirinya sendiri.

Syekh Ali menambahkan bahwa poligami tidak disebutkan secara spesifik dalam Alquran. Dalam Alquran surat An Nisa ayat 3, Allah berfirman:   

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

“Wa in khiftum alla tuqsithuu fil-yatamaa fankihuu maa thaba lakum minannisaa-i matsna wa tsulasa wa ruba’a. Fa in khiftum alla ta’diluu fawaahidatan aw maa malakat aimaanukum, dzalika adna alla ta’uluu. .

Yang artinya, “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudianjika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” 

Syekh Ali menjelaskan, ayat mulia tersebut ditafsirkan sebagai sistem sosial manusia. Namun demikian banyak orang yang menafsirkannya secara terpisah dari alasan dan konteks utama ayat tersebut diturunkan, yaitu tentang adanya anak yatim dan janda.

Dia menjelaskan di halaman Facebook-nya bahwa siapa pun yang menengok ke Alquran tidak menemukan perintah terbuka bagi umat Islam untuk melakukan poligami tanpa batasan yang telah disebutkan. 

Maka Syekh Ali menekankan, bagi orang-orang yang mempelajari dan meamhami sunnah, dalil tersebut justru merupakan sikap Islam dalam melarang laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari empat.

Dia mencatat bahwa sistem poligami adalah merupakan budaya umum sebelum Islam datang di antara orang-orang Arab. Bahkan budaya poligami juga sudah dialkukan oleh orang-orang Yahudi dan Persia. Dia menjelaskan bahwa jejak sejarah memberi tahu umat manusia tentang bagaimana budaya raja dan sultan dalam pernikahan.

Tak jarang budaya kerajaan dan raja/sultan menggunakan kemampuannya untuk menjadikan budak-budak wanita mereka sebagai ‘komoditi’ seksual. Bahkan tak jarang mereka memperlakukan budak layaknya barang dagangan, budak juga terkadang kerap diberikan sebagai hadiah kepada raja-raja lain.

“Mereka mempersembahkan budak-budak wanita mereka kepada raja lain, lalu mereka membawa wanita baru. Sistem Islam justru melawan budaya-budaya seperti ini,” kata Syekh Ali. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement