Sabtu 04 Sep 2021 09:04 WIB

Peneliti: Pengawas Data Pribadi Digital Harus Independen

Pengaws data pribadi digital akan turut mengawasi pengelola data layanan publik.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menyatakan bahwa badan pengawas data pribadi digital harus independen dan terbebas dari pengaruh lembaga negara lainnya. (Foto: Ilustrasi data pribadi)
Foto: Pikist
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menyatakan bahwa badan pengawas data pribadi digital harus independen dan terbebas dari pengaruh lembaga negara lainnya. (Foto: Ilustrasi data pribadi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menyatakan bahwa badan pengawas data pribadi digital harus independen dan terbebas dari pengaruh lembaga negara lainnya. Hal tersebut penting karena lembaga tersebut akan turut mengawasi pengelola data layanan publik yang notabene sesama lembaga pemerintahan dan juga pengelola data layanan privat atau swasta.

"Badan pengawas pengelolaan data pribadi yang bersifat independen dan terbebas dari pengaruh kementerian dan lembaga negara lainnya adalah hal yang krusial dan tidak dapat dikesampingkan hanya dengan perampingan lembaga sebagaimana diutarakan oleh Kemenkominfo," kata Pingkan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (3/9).

Baca Juga

Pingkan memaparkan urgensi independensi badan pengawas data pribadi yang independen terletak pada upaya menjaga kepercayaan publik dan industri, serta menjamin proses penyelesaian sengketa atas data pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak memihak. Selain itu, ujar dia, rujukan negara yang dipakai Kemenkominfo mendukung argumentasinya juga dirasa kurang tepat. "Walaupun wewenang pengawasan pengelolaan data pribadi memang berada di bawah pemerintah Singapura, tetapi pengaturan penggunaan data pribadi di Personal Data Protection Act 2012 menitikberatkan penggunaan data oleh pihak privat atau swasta, bukan publik," ungkapnya.

Ia mengakui, Indonesia memang sudah memiliki regulasi yang mencakup perlindungan data pribadi, namun sifatnya belum cukup komprehensif serta secara umum belum menjamin hak-hak atas kerahasiaan dan keamanan data pribadi. Padahal, lanjutnya, jika melihat pada perkembangan kasus kebocoran data yang terjadi di Indonesia setahun belakangan, data yang beredar berasal dari bocornya keamanan pada pengelola data publik yaitu instansi pemerintah dan juga pihak swasta.

Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak menyatakan, kasus dugaan kebocoran data yang terjadi di sejumlah institusi atau entitas bisnis bila tidak ditangani segera dan tepat dapat menghambat pertumbuhan sektor ekonomi digital di Tanah Air. "Di tengah booming pemanfaatan e-commerce di Indonesia, terlebih lagi Indonesia baru saja meratifikasi perjanjian e-commerce ASEAN, maka lemahnya keamanan data di Indonesia sangat merugikan konsumen dan mengancam masa depan perdagangan digital di Indonesia," kata Amin Ak.

Kasus kebocoran data yang terakhir disorot publik adalah terkait dugaan kebocoran data publik yang terekam dalam aplikasi Electronic Health Alert Card (eHAC) Kementerian Kesehatan. Amin menyatakan prihatin dengan pencurian data berulang seperti itu karena mengancam masa depan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.Ia mengingatkan bahwa hasil survei We Are Social pada April 2021 menyebutkan, persentase penggunaan e-commerce Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia.

"Sebanyak 88,1 persen pengguna internet di Indonesia memakai layanan e-commerce untuk membeli produk tertentu dalam beberapa bulan terakhir," ujarnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement