REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pihak mengkritisi kekuatan oposisi di parlemen usai bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) ke koalisi pemerintah. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, memandang kekuatan oposisi kini tidak bisa lagi diandalkan.
"Oposisi saya kira sudah tidak ada, selain tidak berimbang, juga tidak bisa lagi diandalkan karena minimnya suara," kata kata Dedi kepada Republika, Ahad (5/9).
Menurutnya, ke depan status oposisi hanya politis, serta menjadi mesin persuasif untuk mendulang simpati publik. Hal tersebut sudah mulai terasa, dibuktikan dengan meningkatnya popularitas Partai Demokrat dalam berbagai survei.
"Kondisi hari ini anomali, tidak wajar dari sisi etika politik parlemen. Seharusnya oposisi cukup berimbang, bukan minoritas. Karena bagaimanapun kekuasaan perlu dikontrol," ujarnya.
Oposisi kini hanya menyisakan Demokrat dan PKS. Sebagai oposisi, keduanya harus bisa memperlihatkan sikap keberpihak kepada rakyat.
"Demokrat dan PKS meskipun sulit mempengaruhi suara di parlemen, mereka perlu menunjukkan sikap mewakili statemen-statemen publik, menjadi wakil yang benar-benar memihak," ungkapnya.
Kritik terhadap oposisi sebelumnya juga disuarakan oleh politikus Partai Gelora, Fahri Hamzah. Fahri menyindir partai oposisi yang dianggap tak banyak bermanuver untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Menurut Fahri, hal itu membuat rakyat yang harus turun tangan mengkritisi pemerintah.
Fahri meminta oposisi yang duduk di parlemen untuk bertarung dengan eksekutif. Sebab, mereka telah memperoleh penghasilan dari uang rakyat. "Kami rakyat sebenarnya pengen nonton saja sesekali, malam-malam atau pagi-pagi, sebuah panggung politik yang seru dan mencerdaskan, juga menyehatkan kehidupan dan perekonomian," tutur mantan wakil ketua DPR itu.