REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pakar MES melihat beberapa ketentuan pasca disahkannya UU 33 tentang Jaminan Produk Halal masih menjadi kendala dalam implementasinya. UU mengharuskan dapat diimplementasikan sertifikasi selambat-lambatnya pada tahun 2019.
Diterbitkannya Peraturan Pemerintah sebagai acuan dan pedoman teknis untuk mengakselerasi sertifikasi halal juga belum sepenuhnya berjalan optimal khususnya bagi pelaku UKM. Di sisi lain, penetrasi produk ekspor Indonesia masih dihadapkan pada kendala ketidaksetaraan standar halal akibat belum diakuinya sertifikasi halal Indonesia di beberapa negara.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo selaku Ketua Dewan Pakar PP MES menyampaikan tiga hal yang perlu dijadikan perhatian khusus oleh berbagai pihak dalam pengembangan produk halal. Pertama terkait bantuan teknis terhadap proses sertifikasi halal untuk kalangan UMKM.
Kedua strategi dalam penguatan akses sertifikasi halal oleh produk-produk asli daerah. Ketiga adalah terkait cakupan dari produk yang disertifikasi halal.
"Kebutuhan sertifikasi halal merupakan kompenen penting untuk menjawab kebutuhan generasi saat ini dan untuk menguatkan UMKM dalam negeri," katanya dalam keterangan pers, seperti dikutip Senin (6/9).
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) selaku Plt Kepala BPJPH, Mastuki menyampaikan masih terdapat beberapa tantangan eksternal dan internal dalam proses sertifikasi halal. Namun Indonesia pada dasarnya memiliki enam modal halal yang sudah cukup memadai dalam mendorong pengembangan sektor halal.
"Di antaranya modal religius, modal sosial-kultural, modal usaha dalam dunia industri, modal manusia, modal bilateral dan multilateral, serta modal ekonomi," katanya.
Mastuki mengatakan keenam modal tersebut perlu dimaksimalkan bersama melalui peran strategis dari semua pihak. Founder JAVARA Indigenous Indonesia, Helianti Hilman mengungkapkan bahwa biaya sertifikasi halal di Indonesia yang masih cukup tinggi menjadi problematika tersendiri di lingkungan masyarakat saat ini.
Sehingga dibutuhkan konsolidasi kebijakan yang nyata dari semua kalangan. Ia mengatakan Indonesia menempati posisi tiga sebagai negara importir produk halal dunia saat ini.
"Oleh karena itu nilai ekspor produk halal di dalam negeri harus terus didorong," katanya.
Selain itu, diferensiasi branding juga penting. Seperti halnya Korea yang memosisikan diri sebagai World Halal Tourism Destination, Malaysia sebagai International Halal Center, dan Thailand sebagai World Halal Kitchen, Indonesia juga perlu memosisikan branding produknnya pada sektor yang lebih jelas.