REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian orang ada yang meninggalkan kewajiban sholat lima waktu. Terdapat berbagai macam alasan mereka yang meninggalkan sholat, namun bagaimana hukumnya?
Pendakwah lulusan S2 Al-Madinah International University (Mediu) Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Ustaz Abu Jarir mengungkapkan, hukum orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja ada dua keadaan.
"Pertama, meninggalkannya karena menentang, atau mengatakan bahwa sholat lima waktu itu tidak wajib lagi, maka orang yang seperti ini dihukumi kafir keluar dari islam," kata Ustadz pada Senin (6/9).
Sementara yang kedua, kalau meninggalkannya karena malas dan tidak menentang kewajibannya, maka ini juga terdapat dua keadaan.
"Pertama, meninggalkannya terus menerus, bahkan sudah dinasihati juga masih terus meninggalkannya, dan tidak ada satupun sholat yang di kerjakannya, maka dia kafir sampai dia taubat dan bersyahadat kembali, namun jika sampai mati maka ia mati dalam keadaan kafir," ucap Ustadz.
"Kedua, dia hanya meninggalkan sebagian saja, kadang ia shalat Maghrib, tapi Isya tidak, subuh apalagi, namun ketika zuhur dia shalat dan seterusnya, maka orang yang seperti ini dosa besar dan tidak dikafirkan," lanjut Ustadz.
Di samping itu, menurut Ustadz Abu Jarir, orang yang taubat dari kesalahan meninggalkan shalat tidak perlu meng-qadhanya. Hal ini karena umat hanya diperintahkan meng-qadha puasa, bukan shalat (Wallahu a'lam).
Sementara Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ahmad Zubaidi menjelaskan, jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang di masa lalunya meninggalkan sholat dengan sengaja atau tidak, maka ia wajib mengqodho-nya.
Dalam mazhab Hanafi, Al-Marghinani (wafat 593 Hijriah) menyatakan dalam kitabnya Al-Hidayah fi Syarhi Bidayati Al-Mubtadi, jilid satu halaman 73 bahwa "Orang yang terlewat dari mengerjakan shalat, maka dia wajib mengqodho-nya begitu dia ingat. Dan harus didahulukan pengerjaanya dari sholat fardhu pada waktunya."
Sementara Ibnu Juzai Al-Kalbi (wafat 741 hijriah) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, jilid satu halaman 50 menyebutkan, "Qodho adalah mengerjakan shalat setelah lewat waktunya dan hukumnya wajib, baik bagi orang yang tertidur, terlupa atau sengaja."
Imam An-Nawawi (wafat 676 Hijriah) salah satu ulama terbesar dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan, "Orang yang wajib atasnya shalat namun melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqodho-nya, baik terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewatnya karena udzur boleh mengqadha-nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab." (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid tiga halaman 68).
Di sisi lain, Al-Mardawi (wafat 885 Hijriah) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan, "Orang yang terlewat dari mengerjakan sholat maka wajib atasnya untuk mengqodho saat itu juga." (Al-Inshaf, jilid satu halaman 442).
"Membayar sholat yang banyak tertinggal harus dibayar menurut tertib cara tinggalnya, yang dahulu didahulukan dan yang kemudian dikemudiankan, tertib ini hukumnya sunnat. Kalau yang ditinggal itu sembahyang sunnat rawatib, yakni sembahyang sunnat yang biasa dikerjakan sebelum dan sesudah sembahyang harus juga di-qadha," ucap Ahmad.
Kendati demikian, Ahmad melanjutkan, ada juga ulama yang tidak mewajibkan qodho, di antaranya adalah Abu Muhammad Ali bin Hazm. Beliau mengatakan tidak perlu meng-qadha selamanya dan tidak sah melakukan qadha sholat selamanya. Namun ia sebaiknya memperbanyak melakukan kebaikan dan shalat sunah agar timbangan (amal baiknya) menjadi berat pada hari kiamat, serta beristighfar kepada Allah dan bertobat.
"Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama, karena memang hadits-hadits berkaitan dengan qodho shalat cukup banyak. Wallahu a'lam," kata Ahmad.
Ahmad mengatakan, apabila yang bersangkutan sudah banyak meninggalkan sholat bahkan hingga bertahun-tahun lamanya, maka shalat dapat dilakukan menurut keyakinan yang bersangkutan. Jadi dia dapat memperkirakannya, dan selebihnya taubat dan mengiringinya dengan memperbanyak sholat sunnah dan perbuatan baik lainnya.