Selasa 07 Sep 2021 08:22 WIB

Antisipasi Gejolak Akibat Wacana Amendemen UUD'45

Isu mengubah jabatan Presiden menjadi 3 periode jadi pembahasan publik Indonesia.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Direktur Public Opinion & Policy Research atau Populi Center Usep S Ahyar
Foto: Gumanti Awaliyah
Direktur Public Opinion & Policy Research atau Populi Center Usep S Ahyar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Senior Populi Center Usep S Ahyar meminta, pemerintah mengantisipasi gejolak masyarakat terkait wacana amendemen UUD45 yang berpotensi berujung perpanjangan jabatan Presiden. Dia tak ingin kudeta militer seperti di Guinea, Afrika terjadi di Tanah Air.

Kudeta di Guinea terjadi usai amendemen konstitusi pada 2020 yang memungkinkan Presiden Guinea, Alpha Conde, menjabat 3 periode. Isu soal mengubah jabatan Presiden menjadi 3 periode juga tengah menjadi pembahasan publik Indonesia.

"Walaupun isu jabatan Presiden 3 periode itu belum menjadi keputusan formal, masih menjadi isu panas di antara elite politik, sebaiknya potensi-potensi gejolak politik itu harus tetap diantisipasi lebih dini," kata Usep kepada Republika, Senin (6/9).

Usep mengamati, wacana jabatan Presiden 3 periode cenderung lebih banyak mendapat reaksi negatif masyarakat. Menurutnya, pemaksaan wacana ini berpotensi menghadirkan gejolak masyarakat. Oleh karena itu, para elite politik sebaiknya berpikir matang dan bijak sebelum benar-benar merealisasikannya.

"Jika masa jabatan 3 periode di Indonesia ini disetujui oleh para elite politik, mungkin juga berpotensi menimbulkan gejolak politik di tengah rakyat. Sampai hari ini sebagian rakyat tidak setuju dengan perpanjangan masa jabatan itu, karena rakyat juga masih belum melihat urgensinya," ujar Usep.

Walau demikian, Usep mengakui kudeta di Guinea tak bisa disimplifikasi akan terjadi pula di Indonesia. Sebab perbedaan situasi dan kondisi antara kedua negara. 

Namun, tak ada salahnya jika elite politik berhati-hati demi menghindari gejolak berujung kudeta. Apalagi, Indonesia mengalami masalah kemiskinan dan korupsi seperti Guinea.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Secara persentase jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 10,14 persen dari total polulasi.

Adapun Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2020 berada di skor 37/100 dan berada di peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun 3 poin dari tahun 2019 lalu yang berada pada skor 40/100. 

"Salah satu pemicu kudeta di Guinea memang amendemen jabatan presiden 3 periode tetapi ada latarbelakang kondisi kemiskinan dan korupsi yang parah dalam periode jabatan ke 3 itu," ucap Usep.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement