Selasa 07 Sep 2021 10:24 WIB

Glorifikasi Ipul, LPSK: Perilaku Pelecehan Bisa Terulang

Wakil Ketua LPSK menyebut glorifikasi Ipul cermin hilangnya sensitifitas ke korban

Rep: Idealisa masyrafina/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ilustrasi Pelecehan Seksual. (Republika/Prayogi). Wakil Ketua LPSK RI Maneger Nasution, glorifikasi itu adalah cermin hilangnya sensitifitas terhadap korban dan ancaman post truth.
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Pelecehan Seksual. (Republika/Prayogi). Wakil Ketua LPSK RI Maneger Nasution, glorifikasi itu adalah cermin hilangnya sensitifitas terhadap korban dan ancaman post truth.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI mengkritisi glorifikasi bebasnya Saipul Jamil yang merupakan napi pelecehan seksual. Apalagi perilaku tersebut dapat cenderung berulang.

Menurut Wakil Ketua LPSK RI Maneger Nasution, glorifikasi itu adalah cermin hilangnya sensitifitas terhadap korban dan ancaman post truth.

"Sangat berbahaya jika Saipul Jamil mendapat glorifikasi di kanal media seolah-olah dia mendapat dukungan publik atas perbuatannya sebagai penjahat seksual yang meskipun sudah dihukum, tetapi perilaku tersebut dapat cenderung berulang," ujar Maneger Nasution kepada Republika.co.id, Selasa (7/9).

Ia menyoroti berbagai kasus public figure yang cenderung mengulangi lagi kejahatan tersebut karena sudah kembali ke dunia entertainment, di tempat di mana mereka memiliki sumber daya dan sumber dukungan bagi kesalahan yang sudah dibuat.

Maneger menilai, tindakan permisif dan terbuka dari media elektronik kepada Saipul Jamil tidak dapat ditolerir dalam bentuk apa pun."Glorifikasi ini bukan hanya hilangnya empati, tapi juga hilangnya hati nurani dan nilai kemanusiaan kepada korban yang mungkin traumanya tidak akan hilang seumur hidup," tutur Maneger.

Baca juga : Saipul Jamil Tampil di TV, Deddy Corbuzer-Ernest Sentil KPI

Sementara bagi pelaku, lanjut dia, tindakannya hanyalah sebuah panggung komedi untuk membuat publik tertawa dan dia mendapat keuntungan finansial dari perilakunya. Oleh karena itu, media elektronik jangan hanya mengejar keuntungan dan mengorbankan moralitas dan nurani.

Selain itu, ruang maaf di publik tentu masih ada, kata Maneger, namun untuk glorifikasi dianggap sangat berlebihan dan cenderung berbahaya. Permaafan dapat diberikan jika ada penyesalan. 

"Namun dengan glorifikasi yang berlebihan dan orang yang berkepentingan, tentunya tidak terlihat ada penyesalan itu seolah-olah menjadi napi hanyalah lelucon yang tidak membuat si pelaku jera sama sekali," katanya. 

Maneger menambahkan, glorifikasi itu juga membawa pesan ancaman post truth. Post truth adalah kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat, dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal.

Sederhananya, post truth adalah era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Dengan cara memainkan emosi dan perasaan publik.

Baca juga : Jokowi: Jangan Lengah, Covid-19 tak Mungkin Hilang Total

Ia mengingatkan bahwa kebohongan yang dikatakan sekali tetap dianggap sebagai kebohongan. Namun jika disebarkan terus menerus akan sampai pada satu titik di mana kebohongan tersebut dianggap benar. 

"Ingatlah, glorifikasi Saipul Jamil dapat membawa lonceng post truth," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement