Selasa 07 Sep 2021 13:20 WIB

Batas Menaati Ulil Amri

Ada beberapa kaidah dalam menaati ulil amri.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Batas Menaati Ulil Amri. Foto: MPR RI selaku lembaga yang berkewenangan mengamandemen UUD 1945 (ilustrasi)
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Batas Menaati Ulil Amri. Foto: MPR RI selaku lembaga yang berkewenangan mengamandemen UUD 1945 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Presiden merupakan pemimpin level tertinggi dan lurah masih bisa dikatakan sebagai ulil amri yang perintahnya harus ditaati. Namun, kata Ketua Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof KH Ahmad Satori Ismail, seperti dikutip Muftisany dalam bukunya "Fiqih Keseharian Apakah Presiden itu Ulil Amri, Hingga Donor Organ" berpendapat, secara ketaatan ada beberapa kaidah khusus.

Menurutnya, Satori Ismail menjelaskan dalam surah an-Nisa ayat 59 ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya tidak disejajarkan dengan ulil amri. Ketaatan kepada Allah dan Rasul bersifat mutlak, lain halnya kepada Ulil Amri.

Baca Juga

"Karena tidak ada kata 'atti'u di depan ulil amri," jelasnya.

Seorang ulil amri wajib ditaati sepanjang ulil amri tersebut juga menaati Allah dan Rasul. Artinya, kebijakan yang dikeluarkannya tidak bertentangan dengan syariat. Jika perintahnya mengajak kepada kemaksiatan, maka gugurlah ketaatan terhadap ajakan tersebut.

Hal ini dikuatkan dengan Hadits Riwayat Bukhari Muslim. "Tidak ada ketaatan kepada seorang makhluk yang mengajak kepada kemaksiatan."

Satori melanjutkan, dimensi ketaatan terhadap ulil amri ada dua aspek.

Pertama adalah ketaatan terhadap kebijakan yang dikeluarkannya. Sepanjang aturan tersebut tidak menabrak aturan Allah, maka ulil amri harus ditaati.

Kedua, aspek ketaatan secara umum. Rakyat atau kaum muslimin dilarang melakukan pemberontakan selama kepentingan umat Islam diakomodir. Pemberontakan tidak boleh dilakukan meski pemimpin adalah orang yang fasuk karena tidak semua hasil kepemimpinannya adalah keburukan.

"Selama salat tidak dilarang masjid tidak digusur rakyat tidak boleh melawan,"Ujar Satori Ismail.

Rektor Institut Ilmu Quran (IIQ) Dr Akhsin Sakho Muhammad, berpendapat bahwa baik presiden maupun kepala daerah bisa disebut ulil amri atau amir. Amir adalah mereka yang memimpin suatu kelompok masyarakat. Ulil amri adalah orang yang terdiri dari kumpulan ulama dan umara.

Menurut Akhsin, ketaatan kepada pemimpin ditunjukkan dengan mentaati semua perintah selama tidak bertentangan dengan Islam. Contohnya, kewajiban mempunyai sertifikat rumah, surat izin mengemudi, melunasi administrasi negara, dan lain sebagainya.

"Seandainya pemerintah memerintahkan penduduk yang melakukan hal-hal yang dilarang agama tentu tidak perlu diikuti," katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement