REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas menganggap ekonomi dunia telah cukup lama dikendalikan oleh Amerika Serikat, merujuk pada dolar AS yang dijadikan patokan dalam hampir seluruh transaksi antarnegara. Hal tersebut, menurut ahli ekonomi Islam Indonesia itu, akan sangat menyulitkan banyak negara, termasuk Indonesia, untuk bertransaksi dengan negara-negara mitra.
“Sebab kalau kita tidak punya dolar AS yang cukup untuk membayar maka tentu jelas kita tidak akan bisa melanjutkan transaksinya padahal kita punya uang yang cukup dalam bentuk rupiah,” kata Wakil Ketua Umum MUI itu, Kamis (9/9).
“Untuk itu bagi mengatasi hal demikian negara kita terutama dalam hal ini Bank Indonesia (BI) telah membuat kesepakatan bilateral dengan beberapa negara untuk mempergunakan mata uang mereka masing-masing dalam bertransaksi yang disebut dengan istilah Local Currency Settlement (LCS),” jelasnya menambahkan.
Melalui penerapan LCS, setiap bangsa dapat mengandalkan mata uang mereka masing-masing dalam bertransaksi dengan negara mitra, begitu pun sebaliknya. Hal ini, kata dia, merupakan sebuah solusi dan kabar gembira bagi Indonesia untuk mendorong penggunaan rupiah secara lebih luas, terutama dalam transaksi bilateral.
“Untuk itu usaha dan kebijakan yang dilakukan oleh BI ini patut kita apresiasi karena selain akan mengurangi ketergantungan kita kepada dolar AS dalam bertransaksi kita juga berarti telah ikut membantu terciptanya transaksi-transaksi yang sehat dalam pasar dunia karena tidak ada lagi hegemoni us dollar dalam transaksi bilateral dan global,” ujarnya.
Dia juga mengatakan bahwa upaya BI ini akan mengurangi penggunaan dolar AS sebagai mata uang global (global currency), dan menciptakan kehidupan ekonomi dunia yang adil dan setara. Menurutnya, jika BI berhasil memperluas penerapan LCS, maka selain dapat membantu dan mempermudah transaksi dan pergerakan barang dan jasa antarnegara, juga dapat mendorong kemajuan ekonomi yang baik dalam skala makro maupun mikro.
“Kehidupan ekonomi dunia yang adil dan setara memang sudah lama hilang, dan itu jelas-jelas sangat merugikan kita sebagai bangsa karena dia (Amerika) telah merenggut kedaulatan ekonomi terutama kedaulatan mata uang kita,” kata dia.
“Kita harapkan kesejahteraan ekonomi rakyat akan bisa meningkat dengan signifikan sesuai dengan yang kita harapkan,” pungkasnya.
Direktur Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia (BI) Rahmatullah Sjamsudin mengatakan bahwa kerja sama penyelesaian transaksi bilateral dengan mata uang lokal (Local Currency Settlement/LCS) akan menurunkan kebutuhan akan dolar AS di Tanah Air. "Dengan demikian dampaknya akan terasa terhadap stabilisasi nilai tukar rupiah karena sebelum ada LCS, perdagangan barang dan jasa, termasuk investasi ke luar negeri dan lain-lain, seperti pembayaran remitansi hingga pembayaran transfer dividen memakai dolar AS," jelas Rahmatullah dalam keterangannya.
Selain itu, terdapat beberapa keuntungan lain dengan adanya transaksi LCS, yakni membuat biaya transaksi dua negara menjadi lebih murah karena tidak perlu lagi mengonversi mata uangnya terlebih dahulu ke dolar AS.
"Jadi langsung kalau importir Indonesia mau beli ringgit Malaysia untuk membayar barang bisa langsung ke bank ACCD LCS, sehingga tidak perlu lagi beli dolar AS terlebih dahulu, begitu pula sebaliknya," ucap Rahmatullah.
Kemudian, ia menuturkan terdapat pula keuntungan lainnya, yaitu unsur lindung nilai yang memperbolehkan pelaku usaha melakukan hedging menggunakan beberapa instrumen, termasuk Domestic Non Deliverable Forward (DNDF).
Dengan LCS ketentuan threshold pembelian para pelaku usaha juga lebih fleksibel, contohnya threshold transaksi LCS dengan baht Thailand dan ringgit Malaysia sampai dengan 200 ribu dolar AS tidak perlu menggunakan underlying, serta yen Jepang sampai dengan 500 ribu dolar AS.