REPUBLIKA.CO.ID, Shalawat Badar karya KH Ali Manshur Shiddiq memiliki daya tarik tersendiri pada setiap baitnya. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga pakar bahasa dan sastra Arab, Prof. Dr. Sukron Kamil menilai dari struktur bahasa dan bentuknya, shalawat yang amat populer di Nusantara itu telah memenuhi standar puisi Arab.
Menurut dia, bentuk Shalawat Badar memiliki syair yang mengikuti persodi gaya lama, dengan kesesuaian pada tiap akhir kata (khofiyah). Selain itu, Shalawat Badar memiliki bahar atau wazan tertentu yang dijadikan pola dalam menggubah syair Arab. Jenis bahar yang digunakan pada Shalawat Badar adalah bahar hazj.
Dengan apiknya pemilihan susunan kata yang digunakan, banyak orang tidak mengira Shalawat Badar diciptakan oleh seorang ulama dari tanah jawa yaitu KH Ali Manshur. Memang shalawat yang tersusun dari 28 bait itu tidak menggunakan bahasa-bahasa simbol yang umumnya menjadi kekuatan pada sebuah puisi. Kiai Ali Manshur lebih memilih kata-kata yang dapat mudah dipahami dan diingat pada setiap baitnya. Namun demikian, menurut Sukron, hal itu menjadi kelebihan tersendiri dari Shalawat Badar.
"Saya kira sisi itulah yang menjadi kelebihan daripada Shalawat Badar. Karena tidak menyulitkan orang untuk memahami terutama di dalam tradisi NU yang terbiasa dengan kitab-kitab, mengenal puisi pun untuk kepentingan taklimi, kepentingan pengajaran. Sebab kalau terlalu banyak bahasa-bahasa simbolik yang pemaknaannya lebih pada pemaknaan konotasi itu akan menyulitkan," kata Sukron kepada Republika beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, bait-bait shalawat itu memang menjadi sebuah doa KH Ali Manshur yang diperuntukkan bagi Kaum Muslimin di Indonesia dalam menghadapi berbagai kekuatan yang mengancam Islam dan umat khususnya dari dominasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut dia, kekuatan PKI menjadi tantangan umat Islam dahulu. Karena itu, Shalawat Badar diumpamakan pasukan Muslim melawan pasukan kafir Quraisy yang memiliki kekuatan besar.
Baca juga : Naskah Khutbah Jumat: Antara Iman dan Amal Shalih
"Sebab pada tahun iu kalau PKI menang, atau kuat banget, itu boleh saja dakwah Islam itu akan terhambat. Karena itu puisi ini (shalawat badar) diperuntukkan sebagai doa untuk umat Islam menghadapi kekuatan yang mengancam terutama PKI pada tahun itu," kata dia.
Namun demikian, Sukron menjelaskan, makna yang terkandung pada shalawat badar bisa meluas seiring zaman. Selain itu, shalawat tersebut juga merefleksikan tradisi warga Nahdliyin yang kerap bertawasul dalam berdoa. Sukron menerangkan, Shalawat Badar dibuka dengan bait pertama berisikan shalawat kepada Nabi Muhammad. Kemudian pada bait selanjutnya berisi tawasul dengan bismilah, Rasulullah, setiap Mujahid, dan ahli badar (atau para mujahid yang gugur di perang badar).
Shalawat ini juga berisikan doa kepada Allah agar menyelamatkan semua umat Islam dari bencana dan siksa, dari kesusahan dan kesempitan, serta dari tipu daya dan kekejaman musuh atau orang-orang yang zalim. Selain itu, terdapat doa agar dijauhkan dari orang-orang yang berbuat kerusakan, wabah dan penyakit.
Menurut Sukron, pada bait ketujuh dan delapan yang berisi permohonan kepada Allah agar diselamatkan dari segala yang menyakitkan dan berbagai tipu daya musuh, juga secara tidak langsung mengandung makna doa agar terlepas dari kejahatan PKI saat itu. Selain itu terdapat bait pada shalawat yang dinilai secara tidak langsung mengandung makna sebuah harapan agar terhindar dari kekacauan politik, perpecahan dan malapetaka pada era-60an serta harapan agar NU meraih kemuliaan.
Meski begitu, menurut Sukron, kepopuleran Shalawat Badar sehingga cepat meluas dilantunkan di berbagai daerah bukan saja karena kemudahan bahasa yang digunakan. Tetapi, shalawat tersebut menjadi identitas bagi setiap warga nahdliyin."Seolah-olah bukan NU kalau tidak hafal shalawat badar. Jadi ini bagian dari identitas sosial juga sesungguhnya. Saya kira sangat berpengaruh kenapa mudah karena itu menjadi bagian gerakan sosial NU dari tahun 60 hingga hari ini,”ujar dia.