REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Staf Afghanistan yang bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) semakin menjadi sasaran pelecehan dan intimidasi sejak Taliban berkuasa bulan lalu. Hal itu dikatakan oleh utusan khusus PBB untuk Afghanistan Deborah Lyons, Kamis (9/9).
Lyons mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa tempat-tempat PBB sebagian besar telah dihormati, meskipun ada beberapa pengecualian.
"Kami ... semakin khawatir dengan meningkatnya jumlah insiden pelecehan dan intimidasi terhadap staf nasional kami. Kami akan terus melakukan segala kemungkinan untuk mendukung staf kami dan menjaga mereka dari bahaya," kata Lyons.
Dokumen keamanan internal PBB yang dilihat oleh Reuters pada 25 Agustus menggambarkan lusinan insiden termasuk ancaman terselubung, penjarahan kantor-kantor PBB dan penganiayaan fisik terhadap staf sejak 10 Agustus, tak lama sebelum Taliban berkuasa.
"PBB tidak dapat melakukan pekerjaannya - pekerjaan yang sangat penting bagi rakyat Afghanistan - jika personelnya menjadi sasaran intimidasi, ketakutan akan nyawa mereka, dan tidak dapat bergerak dengan bebas," kata Lyons.
Sementara Taliban telah berusaha untuk meyakinkan Afghanistan dan kekuatan Barat bahwa mereka akan menghormati hak-hak rakyat. Laporan pembalasan telah merusak kepercayaan.
"Kami marah atas laporan bahwa anggota Taliban telah melakukan pembalasan terhadap staf PBB di seluruh negeri. Ini sama sekali tidak dapat diterima," kata diplomat senior AS Jeffrey DeLaurentis kepada Dewan Keamanan PBB.
Baca juga : Dampak Konflik Afghanistan terhadap Tahanan Guantanamo
Dia meminta Taliban untuk menghormati independensi dan netralitas PBB. Dia juga mengatakan Amerika Serikat telah mendengar laporan bahwa beberapa staf wanita PBB dan staf wanita mitra bantuan AS telah dilarang masuk ke kantor atau diminta masuk ke tempat kerja mereka dengan pendamping pria.
"Menyebut insiden yang dilaporkan ini 'keterlaluan'. Semua anggota staf PBB harus dapat melakukan pekerjaan mereka tanpa beban yang tidak semestinya dan tanpa diskriminasi mengenai siapa mereka," kata DeLaurentis