REPUBLIKA.CO.ID, KINABALU -- Negara bagian Sabah, Malaysia menentang setiap usulan yang akan membatasi kebebasan beragama masyarakatnya. Kebijakan ini dijelaskan Ketua Menteri Datuk Seri Hajiji Noor, Kamis (9/9).
Menurutnya, pemerintah negara bagian memegang teguh prinsip kebebasan beragama sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Federal dan Perjanjian Malaysia 1963. "Sabah menolak usulan RUU tentang Pengendalian dan Pembatasan Ekspansi agama non-Islam sebagai salah satu dari empat RUU Syariah baru," katanya, dilansir dari Malay Mail, Kamis (9/9).
“Sabah adalah negara dengan orang-orang dari banyak budaya dan agama yang telah hidup damai dan harmonis selama ini. Meski dengan begitu banyak perbedaan keyakinan, kami saling menghormati budaya satu sama lain tanpa masalah,” tambahnya.
Komentar Hajiji mengikuti partai-partai lain yang berbasis di Sabah seperti Partai Bersatu Sabah, Partai Solidarity Tanah Airku dan United Progressive Kinabalu (Upko) yang semuanya menolak konsep RUU tersebut yang mereka katakan inkonstitusional. Portofolio urusan Islam di bawah Departemen Perdana Menteri baru-baru ini melaporkan RUU Syariah baru yang diusulkan termasuk yang disebutkan di atas.
Adapun Presiden Parti Bersatu Sabah (PBS), Datuk Seri Dr Maximus Ongkili mengatakan, masalah tersebut tidak pernah dibahas di tingkat Kabinet federal sejauh ini. Tetapi dia berharap mitra lain dalam pemerintahan Perikatan Nasional seperti Gabongan Parti Sarawak (GPS), MCA dan MIC akan menentang RUU tersebut.
“PBS yakin Perdana Menteri baru Datuk Seri Ismail Sabri Yaakob akan menghormati jaminan ini yang telah menjadi aset berharga bangsa kita sejak pembentukan Federasi. Hal ini terutama terjadi, mengingat visi perdana menteri untuk membangun Keluarga Malaysia,” katanya.
Presiden STAR Datuk Seri Jeffrey Kitingan juga menyatakan keprihatinan tentang rencana untuk memperkenalkan undang-undang mengontrol lebih lanjut dan membatasi penyebaran agama non-Muslim. Ia juga mengatakan ketentuan RUU baru tidak jelas.
“Terlalu dini untuk mengatakan apakah RUU baru ini akan melanggar Konstitusi, atau yang lebih penting bagi kami di Sabah, kesepakatan yang diukir di Batu Sumpah,” katanya.
“Namun, perlu diingat Sabah adalah negara multikultural dan multiagama, dan masyarakatnya telah hidup rukun satu sama lain selama beberapa dekade, terlepas dari keyakinan atau latar belakang. Saya khawatir masalah ini, yang sama sekali tidak perlu sekarang dan di masa depan, akan menyebabkan perselisihan di antara orang-orang kita,” tambahnya.