Pola Asuh Salah Picu Seseorang Jadi Pelaku Perundungan
Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Ilustrasi perundungan | Foto: pixabay
REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Tindak perundungan masih kerap terjadi di lingkungan masyarakat. Kejadian ini tidak hanya dialami seseorang di tingkat sekolah, tapi juga di lingkungan kerja.
Melihat fenomena tersebut, dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Diana Savitri Hidayati mengatakan, kasus perundungan sering terjadi baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan kerja.
Pada prosesnya, ada tiga pihak yang terlibat, yaitu pelaku, korban, dan penonton. “Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan perundungan, namun yang pasti hal itu dapat terjadi karena kondisi yang memungkinkan,” ungkap dosen kelahiran Surabaya itu.
Perempuan yang disapa Didi ini mengungkapkan, beberapa penyebab seseorang menjadi pelaku maupun korban dari tindak perundungan. Dari sisi pelaku, biasanya ia merasa dominan dan berhak untuk mengintimidasi pihak lain yang terlihat lemah atau tidak akan melawan.
Pola asuh dan lingkungan yang salah juga dapat menyebabkan seseorang memiliki sifat demikian. Pada kasus perundungan di kantor KPI, tingkat perkembangan usia para pihak yang terlibat termasuk dewasa madya. Hal ini menunjukkan, pelaku dari kecil sudah biasa melakukan perundungan. "Dan hal itu berlanjut hingga ke lingkungan kerja," ujarnya.
Sementara dari sisi korban, biasanya karena memiliki kepribadian yang lemah. Hal ini dapat berupa konsep diri yang negatif seperti selalu merasa dirinya salah atau sudah biasa untuk dikalahkan. Kondisi itu dapat terbentuk dari pola asuh yang salah pula dari keluarga serta kritik yang tidak membangun.
Menurut Didi, perundungan akan berdampak negatif pada kesehatan mental korban. Dampak terburuk yang dapat menimpa korban berupa gangguan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) hingga keinginan bunuh diri.
Didi mengatakan ada dua hal yang mungkin terjadi ketika seseorang mengalami perundungan. Pertama, korban akan menyikapi perundungan tersebut dengan cara positif yaitu berani melawan baik secara fisik maupun secara hukum.
Sementara yang kedua, korban mungkin akan menyikapi perundungan tersebut secara negatif sehingga tidak berani melawan. Didi melihat dalam kasus KPI, MSA dapat menyikapi perundungan tersebut secara positif.
Hal ini karena dia bisa berjuang dan melawan pelaku melalui berbagai cara. Butuh keberanian besar untuk mengungkapkan kejadian tersebut di sosial media.
"Namun MSA mengalami gangguan PTSD karena perundungan telah terjadi selama bertahun-tahun. Ditambah lagi berbagai cara yang ia lakukan untuk melawan balik berakhir gagal,” kata Didi.
Menurutnya, ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengantisipasi maupun mengatasi sebuah perundungan. Pertama, mencari dukungan sosial jika terjadi tindakan-tindakan tidak menyenangkan di sekolah maupun kantor.
Kedua, selektif dalam mencari teman karena lingkungan pertemanan akan berpengaruh pada perilaku maupun pola pikir seseorang. Ketiga, mampu membedakan ranah pekerjaan dan pertemanan sehingga dapat mengetahui lebih awal jika dirinya sedang dirundung.
Hal yang pasti, kata Didi, perundungan biasanya terjadi secara bertahap mulai dari yang ringan seperti disuruh membelikan makanan sampai ke tahap kekerasan dan pelecehan seksual. Korban pada awalnya juga tidak menyadari bahwa dirinya sedang dirundung.
Hal ini terjadi karena sistem senioritas masih berlaku di Indonesia, sehingga korban merasa lazim ketika diperlakukan sebagai junior dan disuruh-suruh. "Oleh karenanya, dukungan sosial serta membedakan ranah pekerjaan dan pertemanan menjadi poin penting untuk mengetahui lebih dini ketika perundungan ringan terjadi,” kata dia menambahkan.