Tuntutlah Ilmu "Panel Surya" Sampai ke Negeri Cina

Red: Fernan Rahadi

Ilustrasi Energi Tata Surya
Ilustrasi Energi Tata Surya | Foto: Foto : MgRol_93

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mhd Kevin Hasnal Siregar (Mahasiswa Teknik Kimia Universitas Islam Indonesia)

Jika kita berbicara tentang bagaimana sebuah negara mampu untuk mempertahankan ekonominya dan menghidupi hajat masyarakatnya, maka sumber energi tidak akan pernah lepas dari pembicaraan tersebut. Amerika Serikat (AS) tidak akan dapat memimpin perekonomian dunia jika tidak dapat menjaga keamanan dan ketersediaan minyak bumi yang mereka miliki. Cina dan Australia pun sangat "berhati-hati" menjaga ketersediaan batu bara mereka demi mengamankan ekonomi negaranya.

Menjawab pertanyaan mengapa energi berpengaruh besar terhadap ekonomi negara, jawabannya adalah karena energi berperan penting pada penentuan harga akhir suatu produk. Energi merupakan komponen utama yang diperhitungkan dalam proses industri dan kegiatan ekonomi lainnya. 

The National Association of Manufacturers pada 2019 mencatat, industri manufaktur komputer dan elektronik yang menghasilkan perputaran uang hingga mencapai 281.100 dolar AS juta (posisi nomor 2 setelah produk olahan kimia) sangat dipengaruhi oleh harga minyak bumi. Kenaikan harga minyak bumi menyebabkan naiknya biaya transportasi pengiriman barang yang pada akhirnya turut menentukan harga dari produk industri ini. 

Sebagai komoditas penentu harga, AS melakukan berbagai cara dalam menjaga minyak bumi, mulai dari inisiatif oil company Amerika melalui research and development yang menghasilkan metode baru untuk dapat meningkatkan produksi minyak bumi melalui hydraulic fracturing yang menimbulkan banyak keributan di negara itu, hingga tindakan langsung dari Amerika dengan mengeluarkan dana untuk militer mereka menjaga suplai minyak hingga sekitar 81 juta dolar setiap tahunnya (Securing America’s Future Energy, 2018).

Melalui jalan yang berbeda, rival dagang AS yaitu Cina mulai mencoba menjadi pemenang dalam sektor energi dengan tujuan memakmurkan perekonomian negaranya. Mulai meninggalkan energi fosil, Cina mendominasi sektor energi terbarukan dengan memimpin 79 persen pasar produksi solar panel dunia pada tahun 2019. Laporan BP Statistical Review of World Energy (2021) mencatat bahwa kesuksesan Cina memimpin pasar solar panel dunia bukanlah jalan yang singkat, melainkan suatu jalan yang dipikirkan sejak tahun 1990-an. 

Menyadari kebutuhan tenaga kerja yang andal dan terampil untuk membangun perekonomian, Cina pada tahun tersebut mulai mengirim banyak tenaga kerjanya untuk belajar ke Jerman dan negara lainnya, suatu pola persuasif mendorong lahirnya perusahaan-perusahaan solar PV di Cina. 

Menurut International Renewable Energy Agency (2019), pendidikan disebut sebagai faktor penting dalam driving force menciptakan kapabilitas rantai suplai dalam negeri di samping dukungan kebijakan pemerintah. 

Krisis ekonomi tahun 2008 sempat menghantam ekonomi Cina. Ekspor solar PV mengalami penurunan yang sangat signifikan. Menyadari peluang ke depan untuk dapat bangkit dari krisis ekonomi, pemerintah Cina membuat kebijakan yang mendorong teknologi berkelanjutan serta fokus pada pengembangannya. Kebijakan tersebut dirumuskan oleh dua tingkatan pemerintahan, yaitu pemerintahan pusat Cina melalui grand strategy berskala nasional berdasarkan prioritas negara, dan pemerintahan daerah bertugas dalam mengeksekusi kebijakan yang ada. 

Pada level pemerintahan pusat, tenaga surya diberikan bantuan paket stimulus hingga 4 triliun RMB serta mendapat tambahan alokasi 10 triliun pinjaman bank. Meskipun stimulus terlihat menggiurkan, tetapi pertumbuhan solar PV masih dinilai tidak baik secara ekonomi. 

Subsidi pemerintah hanya menimbulkan stimulus yang menurunkan harga bahan baku dan jasa instalasi, tetapi pengusaha sendiri justru mengalami kesulitan dalam mendapatkan keuntungan. 

Pemerintah Cina pun kemudian mengenalkan skema feed-in tariff yang diadopsi dari Jerman, di mana uang biaya tambahan dari konsumen listrik yang diterima pemerintah akan diberikan kepada pihak penghasil listrik dari solar PV yang sebelumnya telah disesuaikan terlebih dahulu dengan tarif dasar pembangkit listrik batu bara.

Meskipun tulisan di atas belum mewakili seluruh dinamika perjalanan industri solar PV di Cina, akan tetapi jika dirangkum terdapat beberapa poin penting yang dapat diterapkan bagi berbagai negara, tidak terkecuali untuk Indonesia. Memiliki sumber daya manusia yang mumpuni merupakan kunci untuk dapat memajukan industri solar PV di Indonesia. Mengingat target pemerintah yang sangat ambisius dalam mencapai 23 persen bauran EBT pada tahun 2025 dan menjadikan solar PV sebagai short plan untuk dapat berada di titik tersebut, sudah saatnya pemerintah turut berinvestasi pada tenaga ahli solar PV di Indonesia. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyadari hal ini dari awal. Sebuah program pembelajaran Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (Gerilya) yang diluncurkan pada 2021 salah satu tujuannya untuk dapat meningkat jumlah sumber daya manusia di industri solar PV. Bukan hanya sekadar program pembelajaran biasa, program ini disusun secara matang layaknya sebuah pelatihan yang nantinya mahasiswa akan mendapatkan pengalaman terlibat langsung dalam perencanaan serta instalasi solar PV. 

Program ini juga diajar langsung oleh pengajar dan mentor dari akademisi dan profesional. Meskipun program ini layaknya angin segar yang membawa optimisme, program serupa lainnya dengan cakupan yang lebih luas diharapkan dapat berkembang mengingat besarnya sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk mengakselerasi potensi 207,8 Giga Watt surya di Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga perlu meniru Cina untuk dapat menentukan keputusan strategis yang tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi seluruh pihak mulai dari PLN hingga penyedia listrik Solar PV. Saat ini, tarif jual pada PLN dengan perbandingan 1:0.65 menjadi topik yang hangat di kalangan masyarakat karena dinilai merugikan pihak pengguna solar PV yang menyalurkan listriknya ke PLN. 

Peran pemerintah dalam mengambil keputusan serta kooperatif PLN sebagai raksasa penyedia listrik Indonesia merupakan bagian krusial dalam menumbuhkan iklim ekonomi dari solar PV mengingat diperlukannya keuntungan bagi masyarakat agar memiliki keinginan untuk berinvestasi di solar PV. 

Ketika minat masyarakat meningkat dalam berinvestasi solar PV, efek domino pun akan terjadi pada penurunan harga solar PV produksi dalam negeri. Selain itu, mekanisme feed-in tariff masih memiliki peluang yang besar untuk diterapkan, tentunya kembali dengan dipengaruhi oleh kebijaksanaan pembuat keputusan negeri ini serta kooperatif raksasa penyedia listrik Indonesia.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Terkait


Kenya Konversi Angkutan Umum ke Kendaraan Bertenaga Listrik

Pemprov Kalsel Kembangkan Energi Baru Terbarukan

ESDM: Regulasi Baru Transmisi Listrik Cegah Pemadaman

Dubai Miliki Masjid Ramah Lingkungan Pertama di Dunia 

PLN Amankan Pasokan Batu Bara Jangka Panjang dari PTBA

Republika Digital Ecosystem

Kontak Info

Republika Perwakilan DIY, Jawa Tengah & Jawa Timur. Jalan Perahu nomor 4 Kotabaru, Yogyakarta

Phone: +6274566028 (redaksi), +6274544972 (iklan & sirkulasi) , +6274541582 (fax),+628133426333 (layanan pelanggan)

[email protected]

Ikuti

× Image
Light Dark