REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan siap menghadapi laporan Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko di Bareskrim Polri. "Atas langkah hukum pelaporan ke Bareskrim yang dilakukan oleh KSP Moeldoko, ICW telah didampingi sejumlah kuasa hukum. Maka untuk selanjutnya pihak kuasa hukum akan mendampingi terlapor guna menghadapi setiap tahapan di Bareskrim Polri," kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (10/9).
Moeldoko didampingi penasihat hukumnya Otto Hasibuan pada Jumat (10/9) melaporkan dua peneliti ICW Egi Primayoga dan Miftahul Huda ke Bareskrim Polri terkait pernyataan ICW soal 'pemburu rente' dan tuduhan ekspor beras. "ICW sepenuhnya menghormati langkah Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, yang memilih jalur hukum untuk menjawab kritik dari masyarakat," ujar Adnan.
Namun, ICW berharap Moeldoko memahami sepenuhnya posisi pejabat publik yang memiliki tanggung jawab dan akan selalu menjadi objek pengawasan masyarakat karena wewenang besar yang dimilikinya. "Pengawasan itu berguna agar pejabat publik tidak mudah memanfaatkan wewenang, jabatan dan kekuasaannya untuk kepentingan di luar tugas pokok dan fungsinya sebagai pejabat publik," tegas Adnan.
Terkait kajian ICW mengenai konflik kepentingan pejabat publik, yakni KSP dengan pihak swasta dalam peredaran Ivermectin ditujukan untuk memitigasi potensi korupsi, kolusi, maupun nepotisme di tengah situasi pandemi Covid-19 menimbulkan ketidaksepemahaman pejabat publik. "Sepatutnya pejabat publik tersebut membantah dengan memberikan argumentasi dan bukti-bukti bantahan yang relevan, tidak justru mengambil jalan pintas melalui mekanisme hukum," ujar Adnan.
Adnan juga menyampaikan dua hal yang menjadi pokok persoalan dalam pelaporan tersebut. Pertama, menurut Adnan, KSP Moeldoko, beranggapan ICW telah menuduh yang bersangkutan mendapatkan untung dalam peredaran Ivermectin. "Menurut kami, KSP Moeldoko terlalu jauh dalam menafsirkan kajian tersebut, sebab, dalam siaran pers yang ICW unggah melalui laman lembaga maupun penyampaian lisan peneliti ICW, tidak ada satu pun kalimat tudingan, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada KSP Moeldoko," papar Adnan.
ICW, menurut Adnan, memastikan seluruh kalimat di dalam siaran pers tersebut menggunakan kata 'indikasi' dan 'dugaan' sebelum tiba pada kesimpulan adanya dugaan konflik kepentingan. "Kami memastikan kajian itu telah melalui proses pencarian informasi dan data dari berbagai sumber yang kredibel," tutur Adnan.
Kedua, terkait pernyataan peneliti ICW tentang adanya kerja sama ekspor beras antara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa, Adnan menyebut ICW sudah menyampaikan terdapat kekeliruan penyampaian informasi secara lisan. "Sebab, fakta yang benar adalah mengirimkan kader HKTI ke Thailand guna mengikuti sejumlah pelatihan sebagaimana tertuang dalam dokumen siaran pers. Atas kekeliruan penyampaian ini, ICW telah menyampaikan permintaan maaf dalam surat balasan somasi beberapa waktu lalu," kata Adnan.
Berkaitan dengan permintaan maaf ICW, Adnan menegaskan hal tersebut disampaikan hanya terbatas pada kekeliruan penyampaian lisan tentang ekspor beras, bukan terhadap kajian secara keseluruhan peredaran Ivermectin. "ICW berharap agar pelaporan yang dilakukan KSP Moeldoko ke Bareskrim Polri tidak menyurutkan langkah berbagai kelompok masyarakat yang selama ini menjalankan peran untuk mengawasi tindak tanduk dan kebijakan yang diambil oleh pejabat publik," tegasnya.
Ia menyebut bahwa pengawasan publik tetap harus dilakukan agar potensi penyimpangan kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme dapat dideteksi guna mencegah kerugian bagi masyarakat luas. Moeldoko dan Otto Hasibuan melaporkan Egi Primayoga dan Miftahul Huda dengan Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan ataa UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).