Jumat 10 Sep 2021 18:44 WIB

Epidemiolog: Harus Ada Peta Jalan Transisi Pandemi ke Endemi

Upaya transisi pandemi ke endemi perlu dilakukan sejak sekarang.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Indira Rezkisari
Pakar menyarankan, harus ada peta jalan yang dibuat untuk bisa hidup berdampingan dengan Covid-19.
Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Pakar menyarankan, harus ada peta jalan yang dibuat untuk bisa hidup berdampingan dengan Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan, harus ada peta jalan yang dibuat untuk bisa hidup berdampingan dengan Covid-19. Karena, dibutuhkan waktu yang lama untuk menjadikan Covid-19 endemik seperti halnya penyakit flu ataupun malaria.

"Harus ada peta jalan menuju pemulihan, bahwa ini akan menjadi endemi, iya. Tapi yang harus diluruskan, kita jangan mengarahkan ini jadi endemi, pilihan itu ada tiga, tetap epidemi, kemudian endemi, ada juga ya terkendali saja, jadi jangan jadikan endemi, kita tentu cita-citanya selesai saja. Kayak dulu virus SARS MERS, kan tidak benar hilang, tetap ada hanya di beberapa lokasi negara," terang Dicky kepada Republika, Jumat (10/9).

Baca Juga

Dicky memandang memulai transisi sejak sekarang adalah langkah yang tepat. Hal tersebut lantaran proses mutasi virus Covid-19 yang begitu cepat.

"Bahwa sekarang memulai transisi lebih tepatnya peta arah jalan pemulihan memang harus dari sekarang. Karena arah peta mutasinya virus Covid-19 akan terus muncul," katanya.

Terlebih, lanjut Dicky, Covid-19 tergolong ke dalam kelompok virus RNA (ribonucleic acid). Yakni masuk dalam salah satu jenis dari asam nukleat, di mana virus ini dikategorikan sebagai makhluk hidup, sehingga mudah bermutasi.

"Virus Covid -19 ini RNA, sifatnya memiliki mutasi luar biasa cepat, titik stabilnya pun cenderung lama, ini yang harus dipahami," ucapnya.

Hal inilah yang menjadi alasan mengapa banyak wilayah dan negara di dunia yang sulit mengendalikan pandemi ini. Karena infeksi pada manusianya sangat mudah terjadi.

Lebih lanjut Dicky juga menjelaskan, perbedaan antara situasi pandemi dan endemi. Situasi endemi terjadi jika Covid-19 sudah dianggap seperti flu, batuk, atau pilek yang biasa terjadi.

"Kalau endemik itu bisa nanti 2, 3 atau 4 tahun lagi itu ketika penyakitnya biasa terjadi. Sepanjang tahun ada seperti malaria atau flu, batuk, pilek yang bisa terjadi. Itu namanya endemik, penyakitnya jadi standar terjadi dalam keseharian," jelas Dicky.

Namun saat endemik itu juga dimungkinkan terjadi hiperendemik, yakni ketika penyakit tersebut kembali meningkat. Ia mencontohkan seperti flu bisa terjadi peningkatan seperti di luar negeri saat musim dingin atau di Indonesia terjadi pada saat pancaroba.

"Di negara lain flu juga menyebabkan kematian tiap tahun, data konteks yang menganggap flu itu biasa tidak seperti endemik artinya tidak emergency, karena sudah vaksinasi banyak, masyarakat juga tidak susah mendapatkan fasilitas kesehatan," terang Dicky.

Oleh karenanya, upaya transisi yang dilakukan adalah tetap disiplin protokol kesehatan, vaksinasi serta penerapan tracing, testing, dan treatment (3T). Menurutnya, semua hal itu tetap menjadi solusi efektif untuk menekan angka penyebaran Covid-19.

Ia juga menekankan, protokol kesehatan tidak cukup hanya 3M, tapi harus 5M, yakni memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilitas dan interaksi. "Respons, atau strateginya tetap sama, yaitu 3T, 5M, dan vaksinasi," kata Dicky

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement