Ahad 12 Sep 2021 17:47 WIB

Presiden Tunisia Berencana Ubah Konstitusi

Presiden Tunisia juga berencana membentuk pemerintahan baru

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Presiden Tunisia Kais Saied mengacungkan tinjunya ke orang-orang yang melihat saat dia berjalan di sepanjang jalan Bourguiba di Tunis, Tunisia, Minggu, 1 Agustus 2021.
Foto: AP/Slim Abid/Tunisian Presidency
Presiden Tunisia Kais Saied mengacungkan tinjunya ke orang-orang yang melihat saat dia berjalan di sepanjang jalan Bourguiba di Tunis, Tunisia, Minggu, 1 Agustus 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Presiden Tunisia Kais Saied mengumumkan rencana untuk mengamendemen konstitusi negara dan membentuk pemerintahan baru. Rencana itu diumumkan Saied kepada dua stasiun televisi pada Sabtu (11/9) waktu setempat.

Ia mengemukakan bahwa dirinya akan memilih orang-orang berintegritas tinggi dalam menjalankan negara. Namun demikian, ia tidak secara rinci mengungkapkan detail waktu pemilihan tersebut atau pembentukan pemerintahan barunya.

Baca Juga

Komentarnya pada Sabtu mewakili pernyataan paling jelas Saied tentang apa yang ingin dia lakukan selanjutnya. Sebelumnya, dia bersumpah bahwa tidak ada jalan kembali ke situasi di negara Afrika Utara sebelum intervensinya pada 25 Juli.

Saied mengatakan, dia menghormati konstitusi demokratis 2014, tetapi konstitusi itu tidak abadi dan masih dapat diamendemen. "Amendemen harus dilakukan dalam kerangka konstitusi," katanya kepada saluran Sky News Arabia dan televisi pemerintah Tunisia, dikutip laman Aljazirah, Ahad (12/9).

Ahli teori hukum dan mantan profesor hukum itu menyebut dirinya sendiri sebagai penafsir utama konstitusi. Pengumuman dilakukan dilakukan setelah ia memecat perdana menteri dan menangguhkan parlemen dalam gerakan yang dinilai sebagai kudeta.

Pada 25 Juli, Saied menggunakan kekuasaannya melakukan intervensi untuk memecat perdana menteri, menteri, membekukan parlemen dan mengambil alih kekuasaan eksekutif. Itu dilakukan dengan alasan pemerintahan tidak becus menangani pandemi Tunisia.

Intervensi Saied mendapat dukungan luas setelah bertahun-tahun mengalami kelumpuhan politik. Namun, langkahnya justru mendorong Tunisia ke dalam krisis satu dekade setelah negara itu melepaskan kediktatoran dan memeluk demokrasi dalam revolusi yang memicu Musim Semi Arab.

Para pemimpin politik telah mengeluh tentang konstitusi sejak disetujui pada 2014. Mereka menyerukan agar konstitusi diubah menjadi sistem presidensial yang lebih langsung, atau sistem parlementer yang lebih langsung.

Pasal 144 konstitusi mengatakan amandemen dokumen hanya dapat diajukan ke referendum jika telah disetujui oleh dua pertiga parlemen. Saied menilai lembaga parlemen itu bahaya bagi negara.

Parlemen saat ini terpilih pada 2019, seminggu setelah Saied terpilih. Dia tidak memiliki kekuatan untuk membubarkannya dan mengadakan pemilihan baru, tetapi beberapa partai di ruang yang sangat terfragmentasi telah mengindikasikan bahwa mereka dapat melakukannya sendiri.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement