REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Sejarawan, Budayawan Betawi, dan Politisi Senior
Suatu hari pada tahun 1980-an, mantan perdana menteri M Natsir berkisah padaku tentang solidaritas muslim Indonesia atas dihukum gantungnya Sidi Omar Muchtar, pejuang kemerdekaan Tripoli (Libya), oleh penjajah Italia, Jenderal Graziani, tahun 1931.
"Kami tidak tahu waktu itu di mana letak Tripoli, tapi demi solidaritas kami beraksi," kata Pak Natsir.
Itu waktu memang belum ada ahli ilmu mata-mata. Kalau tidak, cilaka dua belas, minimal didakwa radikal. Kalau bisa omong Arab, tuduhan meningkat jadi teroris.
Aksi solidaritas berupa pembakaran barang-barang made in Italy. Apa itu topi tarbus dan mobil Fiat. Kalau tarbus, sudah banyak sumbangan dari warga Keturunan Arab. Kata mereka: Kefala ana begundul ma fi mas'alah, pas befulus ana beli kupia, bukan tarbus lagi.
Tak ada di Jawa Muslim yang punya mobil Fiat. Berita sampai ke telinga Haji Abdul Karim Oei Tjeng Hien di Bengkulu.
"Saudara Ridwan, itu Fiat baru saya beli, saya bakar demi perjuangan," kata Haji Abdul Karim tahun 1980-an di rumahnya di kawasan Tomang.
Haji Abdul Karim tokoh Persatuan Islam Tionghoa yang didirikan Haji Jap A Siong di Medan thn 1930-an.
Aku pernah berhadir dalam tabligh Haji Jap tahun 1960-an di Sawah Besar. Ceramahnya dalam bahasa China, aku tak paham.
Mr Johan Muhamad Tjai, China Muslim Bengkulu. Ia pengurus Jong Islamieten Bond. Dahulu, Mr Kasman selaku ketua tugaskan Johan mewakili JIB di Kongres Pemuda II yang cetuskan Sumpah Pemuda.
Kembali pada solidaritas Islam, ketika pada tahun 1931 meletus perang Palestina vs Israel yang pertama, para pelajar Indonesia di Timur Tengah terlibat (aku ngebatin, untung tak ketahuan ahli ilmu mata-mata). Pelajar Indonesia syahid empat orang, antara lain seseorang yang bernama Sapulete.
Tahun 2002 aku ke Jordan berkenalan dengan Dr Walid, seorang tokoh Intifada Palestina. Kepada Dr Walid aku konfirmasi keterlibatan pelajar Indonesia pada perang 1931. Dr Walid benarkan dan dengan lancar ia menyebut nama empat pelajar Indonesia yang syahid.
"Bagaimana Anda tahu?" tanyaku kepada Dr Walid.
"Sejak sekolah dasar kami telah diajarkan soal ini," jawab Dr Walid.